Agak diluar nalar rasanya, orang-orang seperti Abdul Basith, yang merupakan Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), dan mantan Danjen Kopassus, Mayjen TNI (Purn) Soenarko terlibat dalam upaya melawan kepada negara.
Seharusnya orang-orang seperti ini mempunyai peranan penting dalam ketahanan negara. Sebagai pendidik, Abdul Basith seharusnya menyiapkan generasi yang mumpuni, agar negara ini terus ada. Begitu juga dengan Soenarko, tetap memberikan sumbangsih pemikirannya pada negara.
Tersangka perancang kerusuhan saat aksi Mujahid 212, Abdul Basith, menyebut sejumlah bom ikan disiapkan untuk meledakkan pusat bisnis di beberapa titik di Jakarta. Abdul mengutarakan rencananya bom diletakkan di pusat bisnis di tujuh titik.
“Otista, Kelapa Gading, Senen, Glodok, dan Taman Anggrek,” kata Abdul Basith saat ditemui Tempo di Polda Metro Jaya, Rabu, 2 Oktober 2019.
Sesuai dengan rencana yang dibahas dalam rapat di kediaman mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Soenarko di Ciputat, Tangerang Selatan pada 20 September 2019.
Menurut Abdul, bom ikan tersebut bukan menyasar kepada massa tertentu melainkan pusat bisnis. Tujuannya menyerang etnis Cina yang tinggal di Indonesia.
“Kami tidak ada urusan ngebom orang, tapi pusat bisnis,” ujar Abdul.
Jadi aksi Mujahid 212 yang digelar 28 September 2019 lalu, bukan acara penggalangan kesetiaan, dan untuk menjaga NKRI, tapi malah sebaliknya. Momentum itu dimanfaatkan untuk menciptakan kerusuhan.
Bom mulanya bakal diledakkan pada 24 September. Akan tetapi, lanjut Abdul, orang-orang yang terlibat dalam rencana itu baru tiba di Ibu Kota pada 24 September. Rencana pun molor empat hari, di waktu yang sama ketika aksi Mujahid 212.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Tito Karnavian
menyatakan bahwa aksi anarkistis yang terjadi di sekitar Gedung DPR pascademonstrasi
mahasiswa 24-25 September 2019 malam memiliki pola yang mirip dengan kerusuhan
pada 21-22 Mei 2019.
Sinyalemen Tito Karnavian tidaklah salah, memang ada kesamaan modus dalam mendisain kerusuhan, yakni memanfaatkan kerumunan massa pascademo. Dengan menumpang aksi demo kerusuhan yang diciptakan terkamuflase Aksi demo mahasiswa.
Sewaktu kerusuhan 22 Mei 2019 juga begitu, setelah aksi damai yang dilakukan pendukung Prabowo didepan Bawaslu sampai sore hari, malamnya pecah kerusuhan dan pembakaran yang dilakukan oleh massa yang terdeteksi sebagai penumpang gelap.
Kerusuhan 22 Mei 2019 yang lalu, sempat menyeret nama Soenarko, dan Soenarko sempat ditahan dirumah tahanan Militer Guntur. Soenarko saat itu diduga menyelundupkan senjata secara Ilegal.
Dalam kasus Abdul Basith, diceritakan Soenarko meminta agar dibuat letusan di ketujuh titik tersebut. Soenarko bersama dengan Laode Sugiono dan Mulyono Santoso duduk di meja melingkar yang sama membahas pembuatan bom. Laode, Abdul menambahkan, menyanggupi menyiapkan bahan peledak.
Secara tidak langsung Abdul Basith sudah menyeret Soenarko kedalam pusaran kasusnya. Sejauh mana keterlibatan Soenarko, tergantung proses penyelidikan yang dilakukan kepolisian, apakah Soenarko akan lolos dari jeratan hukum, seperti kasus sebelumnya.?
Grand Design kasus seperti ini seharusnya sudah terbaca. Kalaupun ada terkait sentimen etnis, itu hanyalah merupakan pengaburan terhadap rencana sebenarnya.
Upaya menciptakan kerusuhan besar, adalah sebuah rencana makar, yang bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah. Dengan harapan kerusuhan yang diciptakan menimbulkan Chaos. Kalau sudah begitu keadaannya, maka semua kepentingan penunggang bisa dilaksanakan.
Tidak bisa dipungkiri dari kerusuhan yang diciptakan juga sudah diboncengi kepentingan pendirian negara khilafah. Kalau melihat dari orang-orang yang terlibat dalam perencanaan kerusuhan tersebut, adalah mereka yang sudah terpapar faham radikalisme.
Dengan ditangkapnya Abdul Basith ini, bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan, siapa-siapa yang ada dibelakangnya. Kepolisian tentunya sudah mempunyai data orang-orang ada dibelakang Abdul Basith.
Sumber Kompas Jakarta