Angin dan hujan yang menerpa Kota Makassar, di pagi buta 6 Maret 2013, berdampak pada berkurangnya jamaah di Masjid Al-Abrar Gunung Sari Makassar.
Musim pancaroba yang terjadi di awal Januari 2013 mengakibatkan banjir pada delapan kab/kota, bahkan dari catatan yang ada di Pusdalops (Pusat Pengendalian Operasi) penanggulangan bencana Sulsel.
Terdapat 15 kab/kota yang mengalami musibah, mulai banjir, korban puting beliung dan tanah longsor. Setelah itu.
Hujan pun reda dan menteri sudah mulai memancarkan sinarnya, sehingga sebahagian warga sudah ada yang menyimpan payung maupun mantel.
Mereka beranggapan selepas perayaan “Cap Go Me” sudah tidak ada lagi hujan, apalagi pesta menyambut tahun baru Imlek yang bershio ular air, sudah selesai dilaksanakan tanpa hujan.
Tapi hujan di awal bulan Maret, membuat warga kota, membuka kembali payung maupun mantel yang pernah dilipat dalam beberapa pecan terakhir.
Menurut penuturan jamaah yang sudah berusia lanjut mengatakan, memasuki bulan Maret pasti hujan, kndisi itu sejak dahulu, dan itulah yang disebut dengan “Bara’na Marusu”
Dalam artian harfiah, “Bara’na” artinya hujan lebat, sedang “Marusu” adalah salah satu kabupaten penyangga Kota Makassar yaitu Kab. Maros.
Pertanyaan kemudian, kenapa disebut “Bara’na Marusu” karena disana, dahulu kala, merupakan daerah yang sangat subur, pengairan irigadi dan curah hujan diantara bulan Pebruari-Maret, merupakan saat petani di daerah Maros sedang turun ke sawah.
Dewasa ini, kawasan tersebut sudah menjadi landasan pesawat terbang yang dikenal, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Maros di Makassar.
Ini dapat dipahami dapat penyebutan pramugari udara pada setiap akan mendarat, karena sebahagian landasan pesawat itu, berada di daerah perbatasan antara Kabupaten Maros dan Kota Makassar.
Dengan kondisi hujan seperti sekarang ini, tentunya banyak tumbuhan yang mekar, tanah yang reka kini menjadi cair dan menyatu, disitulah kita dapat mensyukuri nikmat.
Betapa rakhmat yang tercurah dari langit, turun ke permukaan bumi dan memberi kehidupan kepada umat manusia.
Hanya saja, manusia tidak pandai bersyukur akan nikmat yang diperoleh, Mereka dengan leluasa mengeksploitasi hutan, lalu mengais batu bara bahkan ada pula yang menjual pasir timah ke negeri tetangga, pendek kata manusia makin “rakus”.
Di tengah kondisi yang kurang bersahabat itu, melahirkan manusia baru dan menempuh jalan pintas untuk kaya. Ada yang bernama, jalur pintas menuju Hambalang dengan aktor utama Nazaruddin, Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum dan kini kasusnya di tangani KPK, pimpinan Abraham Samad.
Di tengah hiruk pikuk pemeriksaan, diungkap pula kasus Gubernur Akpol yang bernama “Djoko” harus mempertanggungjawabkan kasus “Simulator SIM” dan pelacakan terus dilakukan.
Ternyata yang bersangkutan memiliki 12 buah rumah mewah dengan tiga orang isteri, satu yang tercatat di Kepolisian dengan resmi, dua lainnya dilaksanakan dibawah tangan atau nikah siri.
Apapun namanya, KPK telah mengangtongi semua sepak terjang “Sang Jenderal” yang di masa lalu sulit tersentuh hukum. Akan tetapi di tangan KPK pimpinan Abraham Samad kini menjadi ciut.
Kembali ke masalah “Bara’na Marusu”atau musim hujan yang turun di bulan Maret, tentunya akan memberikan kesejukan kepada umat manusia untuk bertani dengan mengolah sawahnya dengan baik.
Sementara kita yang berbeda profesi melaksanakan aktifitas masing-masing, hingga kita menyongsong masa kemarau yang cukup panjang selama dua kwartal ke depan.
Karena itu, benarlah apa yang dikatakan orang bijak, sesudah hujan pasti ada menteri, setelah berpisah tentu kelak akan berjumpa, semoga demikian adanya, salamaki.