Di penghujung bulan Agustus, tepatnya Rabu, 29 Agustus 2012 sekitar Pukul 17.00 Wita saat pulang kantor, sopir yang biasa mengantarku pulang belum juga tiba, Dia sedang bertugas mengantar tamu ke Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.
Sejurus kemudian, kami mengambil keputusan untuk menggunakan kendaraan umum, angkutan kota (angkot) yang di Makassar disebut dengan pete-pete. Tak lama berdiri di depan kantor, tiba-tiba berhenti di depan saya sebuah angkot berwarna biru jurusan ke selatan kota, tepatnya ke arah Jalan Manuruki Makassar.
Di atas mobil, nampak anak sekolah tiga orang, dengan busana sekolah, di depan saya duduk seorang lelaki paruh baya memakai bayu biru, sementara di dekat pintu masuk, ada seorang bapak yang tengah asyik menelpon koleganya yang ada di luar kota. Dari pembicaraan yang terdengar jelas di telinga penumpang, Sang Bapak berujar, “Maaf, aku tidak dapat mendengar baik pembicaraanmu, karena saya di angkot, berisik sekali”.
Tentunya kondisi itu memaksa sang penelpon untuk mengalihkan ke jalur sms, pada saat yang bersamaan, Penulis menerima juga pesan yang di buat oleh seseorang nun jauh disana, “Aku bangga akan kebersahajaanmu, dan bila suatu ketika engkau datang kepadaku dengan pakaian lusuh dan sandal jepit, Aku ikhlas menerimamu,” sebuah pernyataan tulus yang membuatku terhenyak dan nyaris meneteskan airmata.
Angkot biru yang kutumpangi memasuki jalur lambat, sementara disisi kanan melintas Suzuki Ertiga GX keluaran terkini, menyusul sedan putih dengan dua remaja yang sedang bercengkrama didalamnya, nampak jelas dari wajah mereka sedang kasmaran, sementara mobil yang kutumpangi semakin melambat,karena mesin yang sudah mulai menua serta kondisi jalan yang padat dan kendaraan yang lalu lalang makin padat.
Dua kondisi yang kontradiktif itu membuat kita untuk merenung, bahwa kehidupan ini silih berganti, di satu kesempatan kita berada di atas kendaraan yang mewah dan melaju kencang, pada sisi yang lain kita harus naik angkot dengan sejuta rasa, terlebih bila berada di jalur lambat, namun bila kita menikmati hakekat yang terkandung di dalamnya, maka ungkapan rasa syukur dan sejauhmana kita memaknai kehidupan ini, karena hidup ini, laksana putaran roda yang kadang diatas dan kadang di bawah.
Akhirnya angkot biru itu tiba di persinggahan terakhir, dengan lembaran lima ribuan, toh masih di kembalikan sang sopir dua ribu rupiah, lalu melanjutkan dengan kendaraan lain berupa bemor (becak motor) yang kini mulai menjamur di kota Anging Mamiri, menggeser becak (tiga roda) yang di kayuh dengan tenaga manusia.
Pak, berapa ke Andi Tonro ??? terserah bapak, semua jawaban yang mengiba, dari raut wajah sang pengemudi, tergambar ketulusan akan tarif dan harga dari sebuah pelayanan. Kepada Sang Penulis, ia menceriterakan tentang kendaraannya, Bemor ini saya cicil Pak, sebesar Rp 25 ribu per bulan, di bulan Ramadan lalu, ada lima hari saya tidak puasa karena panas terik yang membakar kulit, sambil mengangguk, seakan memahami kondisinya.
Sang pemilik bentor melewati Mannuruki, jalannya sengaja diperlambat karena lalu lintas dari dalam Mannuruki tengah memotong jalan, ini stanflas saya Pak, di tempat ini selalu memberikan kedamaian karena disini memang berada di jalur lambat.
Kondisi di kekinian, jalur menentukan jalan hidup, ada yang memilih di jalur lambat, ada pula di jalur cepat bahkan ada pula nekat di jalur super cepat, semua terpulang pada kita, pada kondisi apa kita harus melakukan langkah taktis, tergantung dari apa yang menjadi tantangannya, namun bagi kami, jalur hidup itu tergantung bagaimana kita mensyukuri akan rakhmat Allah yang tak mampu kita menghitungnya, Salamaki.
Kenangan manis Di Jalur Angkot
Sarana Angkutan Kota Yang Kini Mulai Tergeser Masa