
SYAKHRUDDIN.COM – Pahlawan nasional Pangeran Diponegoro, yang bertempur melawan penjajah Belanda, selalu melengkapi dirinya dengan senjata-senjata pusaka. Beberapa pusaka yang dimiliki oleh Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama asli Bendara Pangeran Harya Diponegoro, dikatakan memiliki kekuatan magis yang tinggi.
Beberapa contoh pusaka Pangeran Diponegoro antara lain keris Kanjeng Kyai Bondoyudo, keris Kyai Nogo Siluman, dan wedung Kyai Wreso Gumilar., sebagaimana dilansir dilaman Sindo Jakarta.
Namun, di antara semua pusaka Pangeran Diponegoro, ada satu pusaka yang sangat istimewa. Pusaka istimewa ini dikenal dengan nama Kanjeng Kyai Cokro.
Pandu Setyawan, Sekretaris Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi), menjelaskan bahwa Kanjeng Kyai Cokro adalah pusaka yang sangat unik dan jarang digunakan oleh Pangeran Diponegoro.
“Kanjeng Kyai Cokro merupakan pusaka piandel yang hanya digunakan pada momen-momen khusus. Berbeda dengan keris Kanjeng Kyai Bondoyudo yang hampir selalu digunakan dan mendampingi Pangeran Diponegoro hingga akhir hayatnya,” ujar Pandu.
Menurutnya, Kanjeng Kyai Cokro dianggap sebagai sebuah pataka yang melambangkan matahari dengan empat bintang dan dua bulan.
Simbol ini dapat diartikan sebagai perwujudan dari perjuangan melawan kebatilan dan kezaliman, dengan harapan keselamatan dunia dan akhirat bagi para pengikut Pangeran Diponegoro.
Pandu juga menjelaskan bahwa nama Kanjeng Kyai Cokro mengacu pada bentuknya yang menyerupai cakra, yang digunakan dalam prosesi pelantikan Pangeran Diponegoro menjadi Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ats Tsani Ratu Paneteg Panatagama Satanah Jawi.
Gelar ini diberikan dan digunakan oleh Pangeran Diponegoro sebagai tanda Pemimpin Tertinggi Perang Jawa.
Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 dan meninggal pada tanggal 8 Januari 1855. Ia memimpin Perang Jawa dari tahun 1825 hingga 1830.
Perang Jawa ini menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, dengan 8.000 serdadu Belanda, 7.000 warga pribumi, dan 200.000 penduduk Jawa tewas, serta kerugian materi sebesar 25 juta Gulden.
Diketahui bahwa sekitar 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di pihak Pangeran Diponegoro. Pandu menjelaskan, “Penggunaan gelar tersebut bukanlah untuk melawan institusi keraton dan rajanya, tetapi digunakan untuk melawan Belanda dan pribumi yang memihak Belanda.”
Namun, pihak yang berseberangan menganggap gerakan dan pasukan Pangeran Diponegoro sebagai makar atau pemberontakan, bahkan menganggap mereka sebagai berandalan.
Narasi ini terdapat dalam Babad Diponegoro dan Babad Nagari Purworejo karya Tjokronegoro I, Bupati Pertama Purwarejo yang mendukung Belanda.
Saat ini, Kanjeng Kyai Cokro beserta beberapa artefak pusaka lain yang berasal dari Pangeran Diponegoro, seperti Keris Kanjeng Kyai Nogo Siluman, Tombak Kanjeng Kyai Rondhan, pelana kuda Kyai Gentayu, dan lain-lain, disimpan dan menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta (sdn/sin)