Fraksi PDIP di
DPR menolak Presiden RI Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK).
Hal tersebut pun disebutkan sudah menjadi sikap resmi fraksi parpol yang
menjadi kendaraan politik Jokowi menduduki jabatan presiden.
“Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial
review dan legislative review. Sedikit memakan waktu
tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik
menarik kepentingan politik,” ujar anggota DPR dari fraksi PDIP, Hendrawan
Supratikno melalui telepon, Senin (8/10/2019).
Dia pun menuding sejumlah pihak memprotes revisi UU KPK yang disahkan jadi
undang-undang pada (17/09/2019) sebenarnya belum membaca isi
keseluruhan.
“Sekarang banyak orang protes tapi belum baca UU
revisinya,” kata Hendrawan.
Hendrawan yang juga merupakan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDIP itu mengatakan langkah legislative review atau judicial review untuk menjawab polemik UU KPK memang akan memakan waktu.
Namun, sambungnya, itu lebih bijak dan baik karena tak
ada campur tangan kepentingan politik atau dorongan paksaan kepada presiden.
Dia pun menuding tuntutan penerbitan Perppu KPK adalah hal yang terlalu
dipaksakan.
“Pandangan kami, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative
review. Sedikit memakan waktu tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur
hukum, bukan dengan hasil tarik menarik kepentingan politik,” katanya.
Lagi pula, kata dia, soal revisi UU KPK itu sebenarnya tak dilakukan hanya
dalam kurun waktu satu atau dua pekan saja. Keinginan untuk merevisi peraturan
KPK itu telah terjadi sejak belasan tahun.
“Pada awalnya sebenarnya sederhana, yaitu harapan
agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai super
body, diawasi dengan tata kelola yang sehat (good governance). Itu
sebabnya dibuat Dewan Pengawas,” kata dia.
Oleh karena itu, sambungnya, lembaga KPK yang sebelumnya menganut sistem satu
lapis berganti menjadi dua lapis demi adanya proses check and balances itu.
“Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu
lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis) agar terjadi
proses check and balance secara internal,” kata
Hendrawan.
Hendrawan juga menyebut, sistem dua lapisan itu terbukti mampu bertahan
berabad-abad dalam menjaga dan menciptakan suatu keseimbangan dalam kewenangan
yang besar dan dinilai sebagai tata kelola modern yang bagus.
Bahkan sistem ini menurut dia telah banyak digunakan
di sektor lain, misal di sektor korporasi. “Sistem two tiers ini terbukti
mampu bertahan berabad-abad dan dinilai sebagai tata kelola modern yang bagus.
Di sektor korporasi bahkan sekarang sistem two tiers yang
paling banyak ditemukan,” kata dia.
Desakan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK sebagai
upaya membatalkan UU KPK yang telah disahkan jadi undang-undang itu
menjadi salah satu desakan dalam gelombang aksi mahasiswa dan aliansi aktivis
di sejumlah wilayah di Indonesia.
Tak hanya itu, puluhan tokoh bangsa yang sempat diundang Jokowi ke istana untuk membicarakan polemik undang-undang di ujung masa bakti DPR periode 2014-2019 pun mengusulkan hal yang sama.
Salah satunya, ekonom senior, Emil Salim mengatakan pihaknya mendorong Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengeluarkan Perppu tersebut.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu mengatakan saat bertemu Jokowi para tokoh menyatakan KPK telah melakukan tindak pencegahan dan penindakan terhadap korupsi secara signifikan.
Sedangkan, revisi UU KPK yang kini telah disahkan
menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada (17/09/2019) dinilainya
sebagai bentuk upaya pelemahan lembaga tersebut.
“Penyidikan, penyadapan semua dikucilkan pengangkatan dan itu harus dari
penyidikan, harus dari kepolisian. Kebebasan dari KPK menjalankan usahanya
seperti yang dia lakukan di masa lampau dikebiri,” kata Emil dalam jumpa
pers bersama para tokoh, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
“Kami mengusulkan, mengharap kepada presiden agar dikeluarkan Perppu untuk
menarik mengubah RUU KPK dari DPR itu,” tambahnya.
Sementara itu, usai pertemuan dengan para tokoh tersebut di Istana Merdeka pada
(26/09/2019), Jokowi menyatakan akan mengkalkulasi semua saran, termasuk penerbitan
Perppu KPK.
“Soal UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali diberikan pada
kita, utamanya masukan itu berupa penerbitan Perppu.
Tentu akan kita hitung, setelah kita putuskan, akan
kami sampaikan,”ujar Jokowi kepada wartawan usai pertemuan tersebut pada
Kamis petang.
Wartawan mempertanyakan kembali ketegasan Jokowi perihal jawaban atas usulan
para tokoh mengenai penerbitan Perppu itu, namun ia kembali pada jawaban yang
pertama.
“Itu kan tadi sudah saya jawab , akan kita pertimbangkan, terutama dari sisi
politiknya,” kata Jokowi.
“Tadi sudah saya sampaikan secepat-cepatnya,
sesingkat- singkatnya [akan diberi keputusan],” sambungnya memungkasi pertanyaan
para wartawan kala itu.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan sejumlah menteri kompak bungkam ketika ditanya isi dan kapan Perpu KPK diterbitkan.
Pada saat menghadiri Perayaan Hari Batik Nasional 2019 di Pura Mangkunegaran, Solo, Jokowi meminta wartawan bertanya tentang Hari Batik, bukan soal Perpu KPK.
“Ini kan kita sedang bicara tentang batik,” kata Jokowi di Pura Mangkunegaran Solo, pada Rabu lalu (2/10/2019)
Adapun Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan yang tahu nasib Perpu KPK adalah Presiden Jokowi.
“Presiden yang tahu, yang jelas urusan ini hanya Bapak Presiden yang tahu, dan tidak perlu dimultitafsirkan,” ucapnya.
Segendang sepenarian dengan Presiden Jokowi dan Pramono Anung, Menteri Sekretaris Negara Pratikno memilih menjawab, “Belum tahu, belum tahu, tanya Masnya, tuh,” di Istana Negara hari ini, Kamis, (3/10/2019), ambil menunjuk ke sembarang orang.
Selanjutnya, Pelaksana tugas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Tjahjo Kumolo malah meminta pers bertanya kepada Menseskab Pramono Anung soal Perpu KPK.
Politikus PDIP yang juga Menteri Dalam Negeri tersebut juga menyatakan tak mau berkomentar mengenai itu. “Mohon Maaf,” tutur Tjahjo Kumolo.
Setelah bertemu dengan puluhan tokoh nasional di Istana Merdeka pada Kamis, (26/09/2019) Presiden Jokowi menyampaikan akan mempertimbangkan Perpu KPK dan segera memutuskannya. Namun hingga kini sikap Presiden Jokowi belum jelas.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengklaim, bahwa Jokowi dan para ketua umum partai pendukung pemerintah sepakat menolak penerbitan Perpu KPK.
Ketika dikonfirmasi tentang hal itu, Mensesneg Pratikno meminta pers menunggu pernyataan resmi yang akan disampaikan oleh Presiden Jokowi.
“Tunggu, tunggu, tunggu. Kalau Presiden sudah menyatakan sesuatu, nah, itu. Sekarang, kan, belum.”
Sebelumnya, salah satu tokoh nasional peserta pertemuan, Mochtar Pabottingi, berharap Presiden Jokowi tidak mendengarkan suara dari partai-partai politik. Jika Jokowi mengikuti mereka, nasibnya bisa sama seperti Presiden RI ke-2 Soeharto.
“Jokowi menghancurkan dirinya sendiri kalau tidak mengeluarkan Perpu. Semua catatan-catatan dan prestasi Jokowi akan kehilangan arti, akan sirna begitu saja, menguap begitu saja, kalau korupsi di luar kontrolnya (bs/syakhruddin)