“Prabowo, you sudah profesor, tentara yang intelektual, teruslah belajar, membaca,” ucap mantan Presiden ke-3 Republik Indonesia Baharuddin Jusuf Habibie kepada Prabowo Subianto ketika keduanya bertemu terakhir kali beberapa bulan lalu.
Ucapan Habibie itu diutarakan kembali oleh juru bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, kepada wartawan melalui pesan WhatsApp tak lama setelah tersiar kabar wafatnya Habibie di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu, (11/9/2019), pukul 18.05 WIB.
Prabowo merasa sedih atas wafatnya Habibie. Selama ini, ia menganggap Habibie sebagai orang tuanya sendiri, guru intelektual, dan teman diskusi di masa-masa pemerintahan Soeharto.
“Bahkan Pak Prabowo sempat menyampaikan beliau ingin menjadi profesor seperti Pak Habibie, namun Pak Habibie bilang, ‘Prabowo, you sudah profesor, tentara yang intelektual, teruslah belajar, membaca.’ Kita kehilangan satu lagi bapak bangsa. Insyaallah, beliau khusnul khotimah,” tulis Dahnil.
Prabowo juga menyempatkan diri bertakziah ke rumah duka di Jalan Patra Kuningan XIII, Kuningan, Jaksel, pukul 19.07 WIB. Prabowo memberikan penghormatan terakhir kepada Habibie.
Prabowo sempat berbicara dan menyampakain belasungkawa kepada kedua putra Habibie, Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Prabowo saat itu ditemani Sekjen DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani.
“Saya turut menyampaikan belasungkawa saya ke keluarga. Saya ketemu tadi Saudara Thareq dan Ilham, sudah sampaikan belasungkawa saya,” kata Prabowo.
Prabowo juga mengakui dirinya terakhir bertemu dengan Habibie beberapa bulan lalu. Tapi tak begitu rinci kapan dan di mana ia dan Habibie berjumpa.
“Beberapa bulan yang lalu ketemu. Tadi kita berbicara banyaklah pokoknya (dengan Ilham dan Thareq Habibie), terima kasih,” ucap Prabowo sambil berjalan memasuki mobilnya.
Seperti diketahui, hubungan Habibie dan Prabowo sempat renggang dan tegang ketika terjadi krisis politik dan ekonomi pada 1998. Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi yang berujung pada kerusuhan massa di Jakarta dan beberapa daerah lainnya.
Jabatan Prabowo sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dicopot pada (23/5/1998). Pencopotan itu persis satu hari setelah Habibie dilantik menjadi presiden menggantikan Soeharto, yang lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Ketegangan dua tokoh ini sempat dikisahkan oleh Letjen (Purnawirawan) Sintong Hamonangan Panjaitan, dalam bukunya, ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’, yang terbit pada 2009.
Kala itu Sintong menjabat Penasihat Presiden Bidang Pertahanan dan Keamanan. Pemicu pencopotan Prabowo sebagai Pangkostrad adalah Habibie menerima laporan adanya pergerakan pasukan Kostrad dari daerah menuju Jakarta tanpa sepengetahuan Panglima ABRI (TNI) Jenderal Wiranto pada (22/5/1998).
Habibie tampaknya mempercayai laporan itu, sehingga ia tak bisa menoleransi pergerakan pasukan itu. Habibie lalu berkonsultasi dengan para pejabat tinggi di TNI.
Akhirnya ia memutuskan mengganti Pangkostrad dari Prabowo, yang saat itu berpangkat letnan jenderal, kepada Mayor Jenderal Johny Lumintang. Prabowo digeser sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI di Bandung.
Habibie meminta agar pergantian dan serah-terima jabatan dilakukan hari itu juga. “Sebelum matahari terbenam?” tanya Wiranto kepada Habibie. “Ya, sebelum matahari terbenam,” jawab Habibie.
Prabowo tahu dirinya dicopot ketika bersama Fanny Habibie, adik kandung Habibie, di Kantor Otorita Batam, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur, pada Jumat, (23/5/1998) pukul 13.00 WIB.
Mendengar kabar tersebut, Prabowo langsung datang ke Istana Presiden pada pukul 15.00 WIB dengan membawa 12 pengawal yang menumpang tiga mobil Landrover.
Putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo sekaligus menantu Soeharto itu datang masih mengenakan seragam lengkap, kopelrim, dan senjata di pinggangnya.
Melihat hal itu, Sintong memerintahkan Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) meminta secara baik-baik senjata yang ada di pinggang Prabowo. “Kau ambil senjata Prabowo dengan cara sopan dan hormat,” perintah Sintong.
Prabowo menuruti permintaan Paspampres. Ia tak keberatan dan mencopot kopelrim, senjata, dan pisau rimba khas Kostrad dari pinggangnya. “Aduh, terima kasih, Prabowo. Begitulah seharusnya tentara bersikap. Menaati peraturan,” ucap Sintong lagi.
Dalam bukunya berjudul ‘Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi’, yang diterbitkan pada 2006, Habibie mengaku sempat merasa risau saat menerima Prabowo pada hari itu.
Habibie sangat khawatir terhadap sikap menantu Soeharto tersebut. Mereka bertemu di ruang kerja Habibie secara empat mata dengan diawali pembicaraan berbahasa Inggris.
Prabowo protes atas pencopotannya. Ia menganggap hal itu sebagai penghinaan kepada keluarganya, lebih-lebih kepada keluarga Soeharto. Habibie menerangkan tak memecat Prabowo sebagai tentara, tetapi hanya menggeser jabatannya.
Pembicaraan semakin panas terkait jabatan Pangkostrad dan keberadaan pasukan Kostrad dari luar Jakarta. “Atas nama ayah saya, Profesor Soemitro Djojohadikusumo, dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta Anda memberi saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” pinta Prabowo.
Nama Soemitro dan Soeharto merupakan dua nama yang sangat dihormati Habibie. Namun Habibie tetap menolak permintaan Prabowo tersebut. “Tidak!
Sebelum matahari terbenam, semua pasukan sudah harus diserahkan kepada Pangkostrad baru.” Saat itu Habibie juga menawari jabatan duta besar kepada Prabowo, tapi ditolak. “Yang saya kehendaki adalah pasukan saya,” kata Prabowo. “Ini tidak mungkin, Prabowo,” tegas Habibie.
Tak lama kemudian, Sintong masuk ke ruangan memberitahukan Habibie bahwa tamu berikutnya telah datang, yaitu Gubernur Bank Indonesia sekaligus Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita. Sintong meminta Prabowo meninggalkan ruangan Habibie.
Sebelum pergi, Habibie sempat memeluk Prabowo sambil meminta menyampaikan salam kepada Soemitro dan Soeharto.
Dalam sebuah wawancara khusus kepada majalah Panji, (27/10 / 1999), yang dikutip kompas.com, (23/5/ 2016), Prabowo sempat mengungkapkan alasan dirinya menemui Habibie.
“Saya datang ke Habibie karena sebelumnya dia selalu berkata, ‘Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan menemui saya,'” ucap Prabowo. Karena ia ingat ucapan Habibie tersebut, ia datang sekaligus menanyakan alasan pencopotan jabatannya itu.
Dalam pertemuan itu, menurut Prabowo, Habibie baru memberitahukan bahwa pencopotan jabatannya sebagai Pangkostrad atas permintaan mertuanya juga, yaitu Soeharto. Prabowo juga membantah kabar dirinya akan melakukan kudeta dengan mengerahkan pasukan Kostrad dan mendatangi Habibie di Istana Negara.
Dengan tegas Prabowo menyatakan tindakan kudeta adalah tindakan inkonstitusional, tidak demokratis. Lebih berat lagi, dirinya memiliki keterkaitan dengan keluarga Cendana.
Belum lagi dalam darahnya mengalir darah pejuang kemerdekaan. Kakek dan pamannya merupakan pejuang melawan penjajah Belanda, sehingga tak mungkin dirinya punya niat mengkudeta pemerintah.
“Kalau Pak Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masa saya mau kudeta?” ujar Prabowo.
Tak lama menjabat Komadan Sekolah Staf dan Komando di Bandung, Prabowo direkomendasikan pemberhentian secara terhormat karena diduga melakukan beberapa pelanggaran.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan Perwira itu dituangkan dalam SK Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP pada (21/8/1998). Sejak saat itulah, Prabowo tak pernah berjumpa lagi dengan Habibie. Prabowo sempat tinggal di Yordania dan Eropa untuk beberapa waktu lamanya.
Kebekuan hubungan Habibie dengan Prabowo akhirnya mencair setelah 15 tahun mereka tak bertemu. Keduanya bertemu di Kafe Seeburg di kawasan Kakerbeck, Altmarkkreis Salzwedel, Jerman, pada 2013.
Foto-foto pertemuan keduanya pun diunggah Prabowo di akun Facebook-nya pada 30/10/ 2013. “Memenuhi undangan silaturahmi dengan Presiden Republik Indonesia ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie di Desa Kakerbeck, Altmarkkreis Salzwedel, Jerman.
Kali terakhir saya ke kediaman beliau adalah pada tahun 2003,” begitu tulis Prabowo dalam keterangan album foto yang diunggahnya pada (30/10/2013)
Demikian kisah ketegangan Prabowo dan habibi, sebagaimana di tulis wartawan Detik, M. Rizal dan editor Irwan Nugroho serta desainer Luthfhy Syahban yang dipublikasikan pada hari Jumat (12/9/2019) dan secara utuh dimuat kembali di Syakhruddin blog, selamat membaca.