Suasana pagi yang menyelimuti Kota Makassar, Rabu (6/9) membuatku untuk mengisi hari pagi dengan berolah raga. Mengendarai sepeda motor NMAX DD 4332 RK, menuju Taman Macan Makassar. Disana terdapat sekelompok wanita tua etnis Cina sedang melakukan senam.
“Tarik lepas ….. tarik lepas….. tarik lepas” begitulah sang instruktur memandu anggota senamnya, untuk menarik nafas lalu melepasnya secara perlahan-lanan.
Sementara beberapa orang yang berusia lanjut, tengah mengitari taman macan sesuai dengan kemampuan usia. Sungguh amat kontras dengan gaya seorang anak muda berperawakan atletis, berlari dengan mengitari taman itu dengan suasana riang gembira.
Penulis yang menyaksikan semua kondisi itu, sembari memotret Taman Macan dari arah Jalan Sultan Hasanuddin, dengan latar belakang binatang Macam yang menggambarkan sedang mengaum, walau itu hanya sekedar patung, namun sang Macan mengingatkanku akan seseorang yang nun jauh disana.
Seseorang yang pernah mengisi ruang-ruang kalbu, ketika bertugas di kota ini, namun sayang dengan peta ketatanegaraan yang berbasis otonomi daerah, akhirnya kami dipisahkan oleh karena pilihan tempat tugas, dan pada akhirnya penulis memasuki masa usia pensiun.
Kini semua kenangan itu, seakan hadir disini, di pagi yang membuat mentari dengan malu-malu tersembul dari balik bangunan tinggi yang memenuhi jantung kotaku, akan tetapi perasaan hati terus menggelayut dan mengenang akan kebersamaan kami dahulu.
Sejurus kemudian, seorang bapak dengan nafas terengah-engah melintas di sisi kiriku, sementara seorang kakek dan nenek yang dengan setia berjalan perlahan, karena mengalami kesulitan dalam melangkah kakinya, mengingatkan akan usiaku yang sudah menjelang senja.
“Barangkali beginilah kondisinya kalau sudah kena stroke” demikian penulis berbicara dalam hati, dalam kebisuan itu, “Penulis terus berdoa, Ya Rabb, terima kasih atas segala kasih sayang-Mu, berupa kesehatan dan kesempatan yang telah engkau serahkan kepadaku”, sehingga masih mampu berjalan cepat bahkan berlari mengitari taman ini.
Pada sesi akhir perjalanan mengitari taman, tiba-tiba datang seseorang wanita paruh baya mengenakan pakaian olah raga agak ketat, sejenak mengingatkan diriku pada dia yang nun jauh disana.
Cara berbusana dan potongan rambutnya nyaris sama, hampir saja aku memanggil namanya, namun lamunanku tiba-tiba terhenti, karena tukang parkir yang tak jauh dari penulis, meniup pluitnya sembari mengarahkan kendaraan yang akan parkir, ”Oh taman Macan, taman yang penuh pesona” namun sayang Macan itu sudah tak mengaum lagi, kini hanya tinggal patung dan menjadi kenangan bagi warga kota, termasuk sang penulis – salamaki.