
Suasana pagi di hari Kamis 17 Juli 2014, Penulis duduk di teras rumah, menyaksikan bunga-bunga yang sedang mekar, di sudut kanan rumah terdapat kolam yang dindingnya makin menghijau ditumbuhi lumut yang lembut, sementara didalamnya terdapat ikan nila yang kini hari kian besar.
Namun ada yang menarik perhatian, tak kalah menatap kandang burung tekukur, dua pasang tekukur yang selalu rajin berbunyi memberi nuansa seakan berada di hutan lebat. Akan tetapi, pagi ini burung itu tak bersuara, setelah kuperhatikan dengan saksama, sang tekukur sedang merawat bulunya yang berwarna coklat.
Teringat akan baju coklat atau lebih tepat disebut baju warna keki yang selalu setia digunakan saat dulu masih aktif di birokrasi Indonesia. Apalagi setiap tanggal tujuh belas, seperti hari ini, harus mengenakan “Baju Korpri” lengkap dengan atributnya termasuk songkok hitam yang lengket di kepala.
Hari ini tak ada lagi apel pagi di hadapan staf, waktu berlalu dan masa pensiun tiba, aktifitas keseharian untuk apel pagi, berganti dengan menyapu halaman dan memberi makan burung dan ikan nila.
Ikan-ikan di kolam berebut makan setiap kali Penulis datang membawa makanan butiran, demikian halnya dengan burung di kandang. Dia akan mengepakkan sayapnya, setiap kali Penulis memasukkan makaan di plastik makan di dekat pintu kandangnya.
Ternyata kedua makhluk ini, memberikan respon yang tinggi setiap kali mendekat, apa itu di kolam ikan maupun di kandang burung, ini menunjukkan betapa kedekatan batin itu telah mempengaruhi pola tingkah kedua makhluk ciptaan Tuhan yaitu ikan nila dan burung tekukur.
Gerakan berebut butiran makanan dan kepakan sayap sang tekukur, bagaikan seorang staf yang bergembira saat akan menerima tunjangan hari raya (THR) dengan riang gembira menerima “angpao” dari sang atasan.
Apalagi dalam kondisi sekarang, dimana kita akan merayakan hari kemenangan 1 Syawal 1435 H yang diperkirakan jatuh pada Hari Senin, 28 Juli 2014, tentunya akan kita sama-sama memperingatinya antara Pemerintah dan Ormas Muhammadiyah disebabkan karena keduanya sudah berbeda pendapat di saat awal penentuan 1 Ramadan 1435 H.
Ketika suasana mentari merangkat naik, teringat akan kenangan masa silam, dimana pada jam-jam seperti ini, sudah berangkat ke kantor dan menjemput rekan yang kebetulan searah jalur menuju kantor.
Suasana kota saat itu masih terbilang lengang, amat kontras dengan kondisi sekarang. Dalam perjalanan menuju kantor, banyak hal yang kami diskusikan, mulai dari kondisi kantor, perkembangan informasi melalui media atau rencana perjalanan keluar daerah. Semuanya masih terkenang dalam lintasan waktu yang menggoda selera untuk menuliskannya kembali.
Kini mereka sudah kembali ke kampung halaman masing-masing, sebahagian masih aktif bekerja di instansi pemerintah, terlebih aturan baru memaksanya untuk di tambah dua tahun lagi, sementara Penulis harus mundur secara terhormat dengan status pensiun di usia 56 tahun.
Masa pensiun tentu merupakan dambaan setiap pegawai negeri sipil, ada yang memang sudah siap menerima kenyataan, ada yang setengah siap dan bahkan ada yang tidak siap dan merupakan neraka baginya. Bilamana itu menerpa Anda, dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan mengidap penyakit power sindrom.
Persoalannya, dahulu mereka dipuja-puja, dilayani staf dan tanta tangannya masih berlaku, ucapannya menjadi acuan staf untuk dilaksanakan. Sekarang harus tinggal di rumah dengan tugas baru sebagai inang pengasuh cucu.
Inilah yang memunculkan anekdot di kalangan para pensiunan. Ada pula yang menyebutkan bahwa ada tiga jenis kategori pensiunan. Bila seseorang, setelah pensiun lalu membuka kios kecil untuk jualan di samping rumahnya, maka dia termasuk dalam golongan “Pensiun Cina” Lain halnya bila seseorang setelah pensiun, tinggal di rumah dan bermain dengan cucu, maka itu dapat digolongkan dengan pensiunnya Orang Indonesia.
Sementara untuk “Pensiunan Kreatif” adalah golongan orang pensiun, dimana setelah pensiun dari kantornya masih mendapat kepercayaan sebagai narasumber di berbagai pelatihan, menjadi dosen atau penyiar radio bahkan menjadi penulis handal. Hal ini dapat dikatakan pensiunan kreatif bahkan bila diperlukan, masih bisa menjadi mubaliq setelah mendalami Al-Quran secara kaffah.
Karena itu, kepada para isteri pensiun, bilamana sang suami tak mau berpindah ke lain hati dan Anda akan tetap mendapat perhatian, maka rawatlah diri di masa pensiun, jaga kesehatan dan tetaplah bersolek sebagaimana “Burung tekukur yang bulunya dibersihkan setiap pagi, sehingga memberi kesan yang indah dan menyenangkan hati” salamaki.