Senja 26 November 2013 kuterpakau di depan laptop, anganku melanglang buana ke seantero jagat raya, ku coba untuk berdamai dengan perasaanku, tetapi tanganku seperti tak mau berhenti menindis tuts komputer yang terus menyala. Perlahan kuberdamai dengan perasaan hatiku, seseorang yang kini duduk dengan IPADnya asyik bercengkrama dengan sobat-sobitnya menikmati kebahagiaan di petang hari.
Nalarku terus mengembara, terbang bersama angin nan lalu. Kutenangkan jiwa dan sukma yang mau memberontak namun bunyi hapeku membuyarkan segalanya.Sejurus kemudian, kuperoleh informasi melalui pesan singkat, Dia sudah merebahkan dirinya di Newton Hotel Kamar 517 di salah satu kota di Jawa Barat. Semua kehidupan yang berlangsung begitu cepat terus berlomba dengan putaran jam yang saling berkejaran.
Sementara di sisi lain, blog yang menjadi tempat menumpahkan segala unek-unek perasaan menjadi lahan untuk berkreasi dalam kapasitas sebagai seorang pensiunan birokrat yang selalu saja sibuk dihari-hari yang seharusnya menikmati kebersahajaan dengan segala varian kehidupan yang berlangsung dengan penuh kerukunan bersama para jamaah yang rata-rata berusia lanjut.
Namun tidaklah dengan perasaan hati yang terus bergelayut, dalam dada masih bersemayam semangat pagi dan ide-ide cemerlang yang membutuhkan penanganan taktis dan karya-karya lanjutan di tengah masyarakat. Kesemuanya ini harus terus diasah agar bisa terhindar dari rasa pikun, bosan dan tidak menikmati bahagia di hari senja.
Akan tetapi, semua itu tergantung bagaimana kita menerima semua kehendaknya, apakah mau bersyukur atau mengingkari takdir ilahi, semua terpulang pada diri masing-masing.Alur fikiran dan tindisan ke tuts komputer juga saling berkejaran, semua harus mencapai titik klimaks sebagai judul tulisan “Renungan”. Disini tidak ada alur abadi, karena alam fikir meloncat kesana kemari, laksana diayun-ayun oleh angin buritan.
Sementara di pelupuk mata, menyaksikan bertapa kesendirian di Kamar Hotel 517 sedang menanti kedatanganku, wow seru-ku laksana terhentak, betapa bahagianya ketika kondisi itu saya berada disisinya.Akh, bayangan pelaut sejati bernama Daeng Lewa membuyarkan seluruh impianku, kini yang datang malah semangat pelaut yang tegar di terpa typun laut selatan.
Menggetarkan semua yang ada di perahu dan hanya orang-orang unggul yang mampu mengendalikan semuanya. Satu diantaranya adalah Daeng Lewa, pelaut sejati yang begitu tenang menggulung layar, menepi dan bersandar di antara deburan ombak dan riuhnya angin. Oh angin nan lalu sampaikan salam rinduku padanya, impikan diriku hadir disisinya dan menemaninya istirahat dalam kepenatan malam yang teramat sangat.
Allahu akbar..allahu akbar panggilan dari Masjid Al-Abrar Gunung Sari Makassar membuatku menghentikan semuanya dan jari-jariku yang seakan tak mau berhenti, kupaksa untuk istirahat karena apapun aktifitas bila tiba saat sholat maka semuanya harus berhenti.
Segera berwudhu lalu mengambil sepeda menuju Masjid Al-Abrar, ikhwal bersepeda ini untuk senantiasa menjaga stamina agar lutut yang panjang ini, terus eksis dalam menjalankan perintah agama. Demikianlah kondisi kekinian yang menjadi tradisi baru setelah berada di tengah-tengah masyarakat. Bukan itu saja, sebuah keunikan untuk para jamaah karena satu-satunya jamaah yang memakai sandal berwarna kuning adalah penulis.
Kondisi ini dipicu oleh sebuah pertukaran sandal di bulan Ramadan. Selama semingga sandal yang berwarna biru bertukar dengan jamaah lainnya, akhirnya diputuskan bahwa kalau ke masjid harus pakai sesuatu yang unik dan mudah dikenal, maka terpilihlah sandal swallow berwarna kuning.
Hari demi hari dilalui dengan kesyukuran akan kebesaran Allah, pancaran semangat untuk berbagi ilmu dibidang ke-Tagana-an juga berjalan sesuai dengan tuntutan zaman dan kehidupan yang aman dan sejahtera adalah impian setiap hamba. Semoga semua ini berjalan sesuai kodratnya hingga akhirnya menghadap kepada Sang Khaliq yang Maha Mengetahui, Salamaki