Ketika kami berada di Morowali dahulu, kami sekeluarga menginap di rumah keluarga pihak calon mempelai perempuan yang bernama Bapak Ilham, akrab di sapa Bapaknya Yun.
Kali ini dia ke Makassar untuk menghadiri acara pesta lanjutan yang digelar di Balai Kencana 45 Jalan Dr. Ratulangi-Makassar, Sabtu 13 April 2013. Pesan almarhum ayah, selalu saja terngiang dalam benak, “bahagiakanlah tamumu” karena sesungguhnya tamu itu adalah rejeki.
Dalam Al-Quranul kariem maka sebagai hamba, kita dituntut untuk senantiasa menjalin hubungan kepada Allah (hablum minallah) dan hubungan antarmanusia (hablumminannas).Demikianlah kondisi yang ada, ketika Bapak Yun beserta keluarganya ke Makassar, dengan menggunakan mobil pribadi, tentunya kami harus menyambutnya dengan riang gembira.
Suguhan “Coto Makassar”sebagai menu selamat datang, merupakan sarana untuk memperkenalkan kuliner di Kota Daeng. Santai dan ngopi di “Kampung POPSA” di depan Benteng Rotterdam Makassar adalah sarana untuk menikmati nuansa pantai.
Dimana para pengunjung selain menikmati makanan dan kudapan (snack) yang sudah di pesan melalui tenant (kedai setempat), tentunya akan menambah suasana kekerabatan yang penuh dengan candaria di senja hari.
Pendek kata, kami semua larut dalam kebahagiaan, dan jalinan silaturahmi antara kedua keluarga besar yaitu A.Musdalifah Binti H.Muh.Ali dari Morowali-Sulawesi Tengah dengan Azwar Anas Bin Anas dari Makassar-Sulawesi Selatan telah terjalin dengan baik.
Setelah semuanya berlangsung lancar, maka rencana dihari kedua dan ketiga adalah mengunjungi sanak famili dari pihak keluarga Azwar baik yang ada di Gowa maupun yang ada di Kabupaten Takalar.
Kondisi demikian sering juga kami lakukan, saat bertugas dahulu di salah satu instansi pemerintah di daerah ini, pelayanan dan penyambutan tamu bagi unit kami, itu adalah segalanya.
Sehingga hubungan personal dengan petugas dari Jakarta begitu terjalin indah, dan hal tersebut tentu manfaatnya jauh lebih baik dibandingkan dengan mengabaikan tamu.
Suatu ketika kami kedatangan tamu dari Jawa Barat dan Jawa Timur, kali ini bukan lagi “Coto Makassar” yang menjadi menu utama melainkan “Pisang ijo” dan “Pallu Butung” dua kuliner favorit ini.
Telah disajikan kepada sang tamu, dan rupanya itulah yang terkadang menjadi pembuka perbincangan dalam berbagai kesempatan, “Bagaimana Pisang Ijo ?” tuturnya berkelakar.
Di Kekinian, terkadang semua diukur dengan “Uang” akibatnya hubungan hanya sebatas dengan pemberian materi, namun dalam kenyataannya hubungan semacam ini, hanyalah seumur jagung. Sesudah itu, biasanya sudah saling mengabaikan.
Seorang penulis kawakan dari Kerajaan Gowa bernama Daeng Pamatte, yang menemukan aksara “Lontara Makassar” dalam sebuah catatan mengatakan, “Pakalabbiriki Toawanangta” dalam arti harfiah, “bahagiakanlah tamumu”
Dengan tuntunan adat yang selalu dijunjung tinggi, maka nilai persahabatan dan persaudaraan, akan semakin mantap dan saling membahagiakan.
Kini adat dan tradisi itu sudah mulai tergerus, seiring dengan kemajuan zaman dan globalisasi, semuanya diukur dengan “kebendaan” akhirnya kita saling mengabaikan. Dimana-mana terdengar, perang antarkelompok, perebutan lahan dan pertikaian antaretnis, semua hanyalah untuk kepentingan “perut”dan “kekuasaan”.
Padahal, sesungguhnya semua itu hanyalah sementara sifatnya. Semoga saja goresan pena di blog ini, menjadi catatan bagi generasi mendatang, untuk senantiasa melestarikan nilai budaya yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita.
Untuk senantiasa menghormati dan melayani tamu dengan tulus, bukankah kebahagian itu akan lahir dari jalinan silaturahmi, yang tak laput karena hujan dan tak lekang karena panas, salamaki.