Tak kan lari gunung di kejar, begitu juga dengan musibah, kemanapun kita melangkah, sunnatullah pasti berlaku. Dengan landasan pemikiran demikian, sehingga seseorang, akan ikhlas menerima, apakah itu rejeki nomplok atau sebuah musibah.
Tersebutlah nama Daeng Nya’la, tukang batu yang mengerjakan bangunan rumah sewa tahap kedua, terletak di Jalan Andi Tonro I No. 6 Makassar.
Bangunan ini, semula untuk garasi mobil, saat masih aktif sebagai PNS, tempat ini menjadi idola untuk empat buah mobil dinas, karena atap seng dengan tiang dari bahan kayu jati yang keras. Sekarang lokasi itu sudah kosong, seiring dengan masa purnatugas sudah tiba.
Untuk memanfaatkan lahan kosong, dibuatlah kamar sewa, sebanyak empat buah dari bahan batako yang berkualitas.
Luas bangunan 16 meter x 5 meter itu, dimulai di bangun pada hari Jumat, 15 Februari 2013, ditandai dengan pembacaan doa syukur, bersama tukang batu dan pemilik rumah.
Hari Sabtu 2 Maret 2013, tukang dan buruh, akan menerima gaji, sehingga sejak pagi hari sudah datang. Hari ini tukang dan buruhnya bersiul-siul, pertanda sore nanti, akan menangtongi uang hasil jerih payah selama sepekan bekerja.
Menjelang masuk Sholat Dhuhur, Daeng Nya’la meminta kepada buruhnya, untuk menaikkan batu batako dua buah dan campuran satu ember.
Ketika batu dan campuran itu sampai di posisi Daeng Nya’la lalu merencanakan memasang, tiba-tiba balok yang digunakan berdiri diketinggian empat, mengeluarkan suara “plok.”
Balok itu patah, Daeng Nya’la ambruk bersama dua buah batako yang baru saja diangkat naik oleh buruhnya yang bernama Daeng Taba.
Mendengar suara balok patah, Daeng Taba meloncat, sementara Daeng Nyala, jatuh ke tanah bersama batako, satu buah menghempas batako yang sedang dipersiapkan untuk di pasang, dan satu buah mengenai kepala Daeng Nya’la.
Sebelum tiba di kepala Daeng Nya’la, batako tersebut membentur tiang tangga, sehingga lentingan kedua itu, mengenai kepala Daeng Nya’la.
Sang buruh memberi tahu bosnya, “Berdarahki Kepala ta Daeng Nya’la”. Sejurus kemudian Daeng Nya’la membuka topi dan darah segar menetes di telinga kanannya.
Melihat kondisi seperti itu, Penulis segera bergerak mengambil “Minyak pusaka” namanya “Minyak Pa’kinta Cera” (Minyak Penahan Darah Mengalir), yang merupakan minyak pusaka peninggalan nenek.
Percaya atau tidak, darah langsung berhenti, sesekali ada darah menetes, bersama keringat dan minyak yang sudah mengenai telinga.
Daeng Nya’la lalu menyeka dengan baju kous putih. Kenapa ki Daeng Nya’la, ujarku dalam nada tanya, tidak apa-apaji haji.
Saya memeriksa kepala Daeng Nya’la, tanpak ada luka terbuka di bagian tengah kepala, akibat ujung batu batako. Penulis teringat akan pelatihan di Tagana, segera mengambil perlengkapan P3K, menutup luka yang sudah tidak mengeluarkan darah.
Dengan bekas minyak di kepala, lalu menumpukkan kapas, selanjutnya mengingat kepala seperti “sorban”. Dalam kondisi seperti itu, Daeng Nya’la seperti baru pulang dari tanah suci, tutur Daeng Taba yang menjadi asistennya.
Maka lahirlah goresan pena, dengan judul “Daeng Nya’la Pulang Haji”keduanya lalu terbahak-bahak.
Setelah perawatan berlangsung, kemudian memberi obat antibiotik, membuatkan teh panas, kami bertiga menikmati kondisi itu, sembari menganalisis jalannya peristiwa.
Seusai sholat dhuhurdilanjutkan makan siang bersama tukang. Daeng Nya’la melanjutkan pekerjaannya hingga menjelang sore hari.
Sekaligus menerima upahnya selama enam hari, pesan orang bijak, “bayarlah upah sebelum keringatnya kering” salamaki.