Nama lengkapnya, Drs. Abd. Wahab Tawang, M.Si – beliau adalah Kepala Kantor Penanaman Modal Jeneponto, yang akan memasuki masa pensiun tanggal 31 Desember 2011 dengan pangkat akhir (IV/c), kehadirannya di ruang kerjaku, Selasa 25 Oktober 2011 sekitar Pukul 11.00 Wita merupakan pertemuan nostalgia dan yang mengulang kembali kisah kasih masa lalu.
Kenangan masa sekolah di SPSA (Sekolah Pekerjaan Sosial Atas) Negeri Makassar di tahun 1976 – 1977 di saat itu saya masih mengenakan celana abu-abu dengan baju putih. Sekali waktu dengan modal tiga ribu rupiah berboncengan menggunakan motor bebek warna merah , masa itu masih langkah mahasiswa pakai motor ke kampus. Kak Wahab yyang terbilang senang berpetualang mengajak saya menuju Kabupaten Bantaeng pakai motornya yang masih baru.
Suasana masa lalu dengan segala keprihatinan,kembali menjadi bahan obrolan, masa itu kami masih sangat belia dan polos, namun sudah tampil memegang kendali, baik saat menjadi ketua kelas, lalu ketua OSIS kemudian meningkat lanjut pendidikan di Akademi Pendidian Pekerjaan Sosial (APPS), di masa Mapran (masa perpoloncoan) saya harus memakai lambang dan tanda pangkat yang bahan tutup botol atau piceng dalam Bahasa Makassar.
Karena ingin bertaruh perguruan tinggi negeri maka banting stir dan mencoba mengikuti testing di Universitas Hasanuddin (Unhas) yang baru pertama kali memulai program kelas matrikulasi dibawah kepemimpinan Prof. DR. Ahmad Amiruddin. Belum sempat berlangsung lama, sekitar enam bulan surat keputusan sebagai calon Pegawai Negeri Sipil memaksaku untuk meninggalkan bangku kuliah dan memilih bertugas di Samarinda – Kalimantan Timur.
Kak Wahab, demikian biasa kusapa, mengingatkanku saat di Posma, tugas utama mengantar teman-temanku yang tergolong cantik unytuk belajar sore di Kanwil Sosial yang masa itu beralamat di Jalan Monginsidi (kini sudah menjadi Kwarda Pramuka Sulawesi Selatan).
Sesungguhnya semua itu hanyalah kedok belaka, karena kakak senior hanya mau berbincang lepas dengan anggota kelompok sayang yang terbilang cantik dimasa itu, sekarang mereka sudah pada usia senja dengan wajah yang sudah jauh berbeda, bahkan sudah harus berurusan dengan penyaklit yang namanya kolestrol dan darah tinggi, yang semua berlalu bersama jalannya zaman, Kak Wahab sendiri dan saya sudah harus tahu diri dan masa sudah merebut dan berlalu.
Kala itu tercatatlah nama seperti Sophia Monoarfa dari Gorontalo – Magdalena dari Tana Toraja yang kini bersuamikan dokter, Citra Dewi dari Bone, Nengsih yang pandai main gitar, perawakannya tinggi besar yang mengingatkanku pada seseorang yang jauh di seberang. Masa itu kami masih pakai sepeda kumbang sebagai transportasi utama dan sahabat saya Abd. Wahid yang terkadang kami harus bermalam dirumahnya karena mengerjakan PR. Di rumahnya di Jalan Cendrawasih Makassar kami tidur di kamar belakang bersamanya, pagi hari kami disuguhi sarapan dengan teh hangat dan sarapan pagi yang menunya sangat sederhana, waktu itu prinsip kami yang penting bisa kenyang agar tidak ngantuk kalau belajar.
Sarapan pagi di urusi oleh ibundanya dengan satu telur yang harus dibagi dua, dibumbuhi kecap manis yang dibeli dari kios di tetangga, semuanya kini menjadi kenangan indah, saat kenangan ini kami bukukan rasanya kembali membias segala keprihatinan dan ternyata, masa lalu tak kan kembali lagi, dia berlalu bersama zaman, bersama angin semilir yang lalin dan amat terasa jika tidak dibaca lagi, seperti terbuang sayang dan terbaca ulang.