SYAKHRUDDIN.COM – Tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai Hari Janda Internasional. Bagaimana kisah di baliknya? Rosalia Tuyuc Velásquez, perempuan asal San Juan Comalapa, Guatemala, tidak melihat sang suami sejak 23 Mei 1984 silam.
Saat itu ia ditangkap oleh tentara selama konflik bersenjata antara militer dan kelompok gerilya. Konflik yang berlangsung 36 tahun ini menewaskan sedikitnya 200 ribu jiwa.
Dilansir dilaman CNN, Lebih dari 35 tahun kemudian Velásquez masih berjuang mencari sang suami. Pencarian ini tak hanya menyoal keluarga tetapi juga perdamaian dan martabat bagi perempuan adat yang diperkosa, kehilangan pasangan selama konflik.
“Mungkin kami tidak tahu apa itu hak asasi manusia, tapi kami tahu apa artinya hidup bebas. Ketika konflik datang, semua kebebasan, kedamaian, keamanan itu hilang. Tidak hanya untuk keluarga saya, tapi ribuan keluarga,” kata Velásquez seperti dikutip dari laman UN Women.
Velásquez tidak sendiri. Setidaknya ada lebih dari 258 juta janda di seluruh dunia. Konflik masih terus ada di berbagai wilayah memaksa perempuan kehilangan pasangan ditambah kondisi pandemi. Pengalaman kehilangan ini bukan aib melainkan sesuatu yang perlu disuarakan dan didukung.
Hari Janda Internasional berawal dari inisiatif The Loomba Foundation. Yayasan ini didirikan Raj Loomba dan sang istri untuk memberikan fokus pada janda dan anak-anak mereka, juga untuk mengubah kultur yang selama ini mendiskriminasi mereka. Raj sendiri terinspirasi dari semangat sang ibu, Shrimati Pushpa Wati Loomba.
Meski sudah ditinggal suami, Pushpa Wati mampu berjuang hingga Raj dan saudara-saudaranya memperoleh pendidikan terbaik. Dia beruntung, sang ayah juga meninggalkan warisan sehingga kebutuhan serta biaya pendidikan terpenuhi. Raj sadar, kalau ia anak dari janda miskin, bisa dipastikan ia tidak akan mengenyam pendidikan bahkan untuk makan saja akan sulit.
“Saya akan tumbuh buta huruf, mungkin narik becak di beberapa kota pinggiran di Punjab,” kata Raj dikutip dari laman resmi The Loomba Foundation.
International Widow Day diluncurkan pada 26 Mei 2005 di House of Lords, London. 23 Juni dipilih bertepatan dengan hari di mana Pushpa Wati menjadi janda pada 1954. Peluncuran ini pun diikuti kampanye global selama 5 tahun. Pada Sidang Umum PBB, Desember 2010, International Widow Day pun diresmikan sebagai peringatan yang dirayakan secara global.
Tantangan para janda ; Ditinggal pasangan hidup barang tentu membuat janda melewati pengalaman kesedihan juga trauma. Bahkan tak jarang sepeninggal suami, janda menghadapi ketidakamanan ekonomi, diskriminasi juga stigmatisasi.
Di banyak negara, janda tidak memiliki hak waris yang sama, dilucuti dari tanah mereka, diusir dari rumah juga harus berpisah dengan buah hati. Mereka juga mengalami persoalan keuangan karena kesulitan akses ke warisan, kredit, rekening bank. Diperkirakan hampir 1 dari 10 janda di seluruh dunia hidup dalam kemiskinan yang ekstrem.
Dalam konteks Covid-19, puluhan ribu perempuan telah menjanda akibat virus. Sementara masih berduka, mereka juga terputus dari dukungan sosial ekonomi dari keluarga besar. Penanggulangan virus seharusnya tidak meninggalkan kepentingan dan hak janda.
Oleh karena itu perlu ada pemberdayaan para janda untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Kemudian memastikan akses ke kesempatan pendidikan dan pelatihan, pekerjaan layak dan upah setara. Mungkin ini juga perlu kerja keras bersama dalam upaya mengubah stigma sosial yang mendiskriminasi janda (sumbercnnjakarta)