INIPASTI.COM – Menghilangnya miliarder asal China, Jack Ma menjadi pembicaraan publik. Kabar menghilangnya Ma disebut sebagai puncak ketegangan antara pendiri e-commerce Alibaba itu dengan pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Jack Ma, pendiri Alibaba dan Ant Group ini pertama kali dikabarkan menghilang pada Minggu (3/1/21). Ia menghilang secara misterius dari acara televisi reality show-nya usai melontarkan kritik terhadap sistem regulasi keuangan China. Dia juga tergelincir ke urutan ketiga dalam daftar orang terkaya di China.
Jack Ma diketahui mengkritik regulator dan bank milik China saat menjadi pembicara sebuah konferensi teknologi finansial pada Oktober 2020. Kritik Ma pun menuai kecaman dari penguasa China.
Melansir The Telegraph, profil Ma hilang dari halaman web penjurian Africa’s Business Heroes–program TV bergaya Dragons’ Den untuk pengusaha pemula. Jack Ma juga tidak terlihat di tahap final berlangsung dan dalam video promosi.
Dilansir di Laman CNN, Pada November atau beberapa pekan sebelum final, Jack Ma sempat mencuit melalui akun pribadinya di Twitter bahwa dia tidak sabar untuk bertemu para kontestan.
Akan tetapi, tidak ada aktivitas sejak saat itu di akun milik ayah tiga anak itu. Padahal, Ma tergolong orang yang aktif di Twitter.
Ma merupakan salah satu pengusaha paling sukses di Tiongkok. Namun, dia semakin tidak akur dengan pemerintah China setelah dirinya mendorong ekonomi yang lebih terbuka di Tiongkok.
Selain Ma, sedikitnya empat konglomerat China lainnya juga tak luput dari cengkeraman pembungkaman Beijing.
Jimmy Lai, Taipan pemilik media sekaligus tokoh pro-demokrasi Hong Kong, Jimmy Lai ditangkap pada 10 Agustus 2020 dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Keamanan Nasional baru yang diberlakukan China di Hong Kong pada 30 Juni 2020.
Penangkapan itu sempat mengejutkan para pengamat, termasuk kantor media milik Lai. Dua pekan sebelum UU itu diberlakukan pada 30 Juni, Lai mengatakan kepada AFP bahwa ia tahu akan menjadi target utama dan siap dipenjara.
“Jika (hari) itu datang, saya akan memiliki kesempatan untuk membaca buku-buku yang belum saya baca. Satu-satunya hal yang dapat saya lakukan adalah menjadi positif,” ujar Lai.
Lai adalah seorang taipan asal China yang lahir di Guangdong dari keluarga kaya. Namun, keluarganya kehilangan semua harta ketika partai komunis mengambil alih kekuasaan pada 1949.
Diselundupkan ke Hong Kong di usia 12 tahun, Lai bekerja keras di sebuah toko, ia mempelajari bahasa Inggris secara otodidak dan akhirnya mendirikan perusahaan pakaian yang sangat sukses, Giordano.
Pada 1989 ketika China mengirim tank untuk membubarkan aksi protes pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen Beijing, Lai mendukung aksi protes tersebut.
Tidak lama setelah itu, dia mendirikan media massa pertamanya dan menulis kolom secara teratur untuk mengkritik para pemimpin senior China.
Sebelum UU Keamanan Nasional disahkan, media pemerintah China sering menuduhnya berkolusi dengan pihak asing, terutama setelah dia bertemu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo dan Wakil Presiden AS Mike Pence pada 2019.
Selama wawancara dengan AFP, Lai menggambarkan UU Keamanan sebagai “lonceng kematian untuk Hong Kong”.
“Ini akan menggantikan atau menghancurkan supremasi hukum kami dan menghancurkan status keuangan internasional kami,” ujarnya.
Selain itu, Lai juga mengkhawatirkan keselamatan jurnalis yang bekerja di medianya. “Apapun yang kami tulis, apapun yang kami katakan bisa (dianggap) subversi dan hasutan,” kata Lai.
Dua medianya, surat kabar Apple Daily dan majalah Next, secara terbuka mendukung aksi protes demokrasi di Hong Kong.
Milyader kedua Guo Wengui, menjadi buronan pemerintah China dan melarikan diri ke luar negeri pada 2014. Dia mengklaim sebagai pelapor yang mengungkap korupsi di jajaran pemerintah China.
Sementara Ren Zhiqiang, Pada April 2020, seorang taipan China lainnya, Ren Zhiqiang, menghadapi penyelidikan polisi setelah ia mengkritik cara Presiden Xi dalam menangani pandemi Covid-19. Ren menghadapi tuduhan melakukan “pelanggaran serius” terhadap disiplin dan hukum.
Mengutip AFP, pria 69 tahun itu sempat menghilang dari mata publik pada Maret lalu setelah membuat tulisan yang mengkritik respons Xi menangani wabah virus corona di China.
Ren tidak secara gamblang menyebut nama Xi dalam tulisannya. Ia justru menyebut pemimpin tertinggi sebagai ‘badut’ yang haus kekuasaan.
“Saya tidak melihat seorang kaisar berdiri memamerkan ‘pakaian barunya’, tetapi seorang badut yang menanggalkan pakaiannya dan berkeras terus menjadi seorang kaisar,” tulis Ren dalam tulisannya.
Dalam artikel tersebut, ia juga mengecam tindak keras partai terhadap kebebasan pers dan intoleransi perbedaan pendapat.
“Tanpa media yang mewakili kepentingan rakyat dengan mempublikasikan fakta-fakta aktual, nyawa rakyat terancam oleh virus dan penyakit utama lainnya,” tulis Ren yang mengkritik pembatasan pemerintah terhadap kebebasan pers.
Kemudian pada akhir September, Ren divonis hukuman penjara selama 18 tahun atas kritik tersebut. Tapi dia menghadapi vonis pengadilan pada 22 Agustus atas tuduhan korupsi dan penggelapan dana publik.
Vonis itu menuai protes dari para aktivis, di mana mereka menuduh Partai Komunis dan Xi menggunakan tuduhan korupsi untuk membungkam pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Pengusaha real estate yang telah pensiun dalam beberapa tahun terakhir itu secara aktif menjadi kritikus terhadap sikap pemerintah China dalam merespons berbagai isu.
Pada 2016 lalu, Ren juga bermasalah dengan pengawas disiplin partai karena membuat petisi daring terkait aturan agar media China harus tetap setia pada partai.
Akibat aksinya, Ren menjalani masa percobaan penahanan selama satu tahun dan akun Weibo miliknya ditutup oleh pemerintah.
Bagaimana dengan Xiao Jianhua ??? Pendiri Tomorrow Group yang berbasis di Beijing, Xiao Jianhua diculik pada Januari 2017 lalu saat menginap di hotel Four Seasons, Hong Kong. Dia menghilang di tahanan China, sementara Beijing menyita sebagian aset dari perusahaannya.
Sejumlah media melaporkan Xiao dibawa pergi dengan menggunakan kursi roda oleh agen keamanan China berpakaian preman, kepalanya ditutupi dengan seprai, dan dibawa melintasi perbatasan ke China.
Menghilangnya miliarder asal China itu adalah bagian dari operasi anti-korupsi China yang diyakini sejumlah pengkritik kerap digunakan untuk mengeliminasi musuh politik Presiden Xi.
Xiao dikenal sebagai pemimpin mahasiswa ketika masih kuliah. Terkait penangkapannya, regulator pasar saham China menuduh Xiao dan taipan lainnya menarik calon investor dari pasar saham China.
Pada 2014 dia membantah pindah ke Hong Kong untuk menghindari penyelidikan kasus korupsi yang dilancarkan oleh pemerintah China (syakhruddin)