SYAKHRUDDIN.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan, pemerintah membahas pemulangan WNI eks ISIS atau teroris lintas negara (foreign terrorist fighters, FTF).
“Belum diputuskan, karena ada manfaat dan mudaratnya masing-masing,” kata Mahfud saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu, 5/2/2020.
Mahfud mengatakan bila dipulangkan, WNI eks ISIS itu bisa menjadi masalah di sini. Jika pun memang kembali, Mahfud mengatakan mereka harus menjalani program deradikalisasi.
Salah seorang WNI eks ISIS, Aleeyah Mujahid, bukan nama sebenarnya, bercerita bagaimana ia kemudian bergabung dengan kelompok ini.
Ia mengatakan memutuskan untuk ‘menghilang’ dari keluarga dan teman-temannya di Jakarta pada Desember 2015.
Perempuan ini memutuskan untuk hijrah ke Suriah dan bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. “Tujuan gue? Kehidupan yang lebih baik.
Better life di kacamata gue itu bukan soal ekonomi, tapi soal keselamatan agama gue,” kata Aleeyah dalam unggahan di media sosialnya. Tempo sudah mendapat izin untuk mengutip kisah wanita berusia 25 tahun itu.
Lulusan Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki ini mengaku ingin menyatu bersama umat muslim di penjuru dunia yang cinta Islam dan rela diatur hukum Islam, yang berdasarkan Al Quran dan sunnah untuk mencegah diri dari ketidakadilan.
Ia mengaku ingin memperbaiki hubungannya dengan Allah dan menjadi umat muslim yang lebih baik.
Sebelum berangkat ke Suriah, Aleeyah membekali diri dengan mencari situs konsultasi tentang Islam. Hingga akhirnya pada Agustus 2015, pencariannya itu menyasar ke sebuah situs dari ISIS yang membahas soal hijrah.
“Patut gue akui, gaya bahasa dan tulisan yang mereka umbar di media sebagai nilai jual dan daya tarik mereka emang cantik dan ciamik. Bikin gue mikir, apa ini jawaban dari kebimbangan gue? Apa ini jawaban dari pencarian gue?” katanya.
Di saat sejumlah orang melihat kekejaman ISIS di layar televisi, Aleeyah merasa seperti terlempar ke dunia lain. Ia merasa disuguhi video indah dan tenteramnya kehidupan di bawah naungan khilafah ‘ala minhaj annubuwwah.
Untuk menjemput jawaban dari pertanyaan di benaknya, Aleeyah mulai menyiapkan keberangkatan pertamanya ke luar negeri sendirian. Mulai dari membuat paspor, mencari tiket pesawat, memesan hotel, hingga mendapatkan visa Turki.
Orang tuanya tahu bahwa ia akan pergi ke Turki. Namun tidak tahu bahwa anaknya tak berencana kembali ke Indonesia. Lulusan Universitas Muhammadiyah itu dibekali uang ratusan dolar dari orang tuanya. “Tapi gue sebenarnya ngantongin lebih,” kata dia.
Pada 8 Desember 2015 dinihari, Aleeyah meninggalkan Jakarta menuju Istanbul, Turki. Ia kemudian mencari kontak pemuda yang bisa membantunya menyeberang ke Suriah bagian wilayah ISIS. Kontak pemuda tersebut menjamur di Twitter.
Ia teringat suasana perbatasan Turki dan Suriah yang gelap, tanpa penerangan sama sekali. “Gue sampai keder, ini langkah gue lurus apa belak belok. Entah. Dingin, berduri,” ujarnya.
Penyeberangan yang dilakukan Aleeyah juga dihujani tembakan polisi perbatasan berkali-kali. Ia pun pasrah jika harus tewas di tempat itu. Setelah menemui banyak kendala, akhirnya Aleeyah baru benar-benar masuk ke wilayah kekuasaan ISIS pada Juli 2016.
Selama lima bulan menjalani kehidupan di bawah ISIS, ekspektasi tinggi ia dan suaminya tentang kehidupan ‘ala minhaj annubuwwah pun dibayar kekecewaan.
Ia mengatakan kebobrokan ISIS mulai nampak setelah kejatuhan Mosul pada akhir Oktober atau awal November 2016. Ia melihat masih banyak kebohongan dan kedzaliman yang menjamur.
Dari pengalamannya, bergabung dengan ISIS seperti terlibat dengan gangster atau kelompok mafia bertopeng Islam. Banyak orang berusaha kabur namun tertangkap dan dipenjara dengan masa tahanan tidak menentu.
Padahal, kata Aleeyah, video propaganda ISIS menyebutkan orang bebas keluar kapan saja jika tak melihat Islam di organisasi tersebut. “Aslinya mah bohong beut (banget) dah. Lo kalau keluar berarti lo penghianat,” ujarnya.
Setelah lebih dari satu tahun tinggal di Albu Kamal, Aleeyah bersama suami dan anaknya pindah ke Baghouz, yang jaraknya sekitar 12 kilometer dari tempat tinggal sebelumnya.
Beberapa bulan sebelum hengkang dari wilayah itu, ISIS digempur habis-habisan. Ledakan bom tanpa target terjadi siang, sore, dan malam. Setelah sejumlah wilayah ISIS diambil alih, laki-laki diwajibkan berperang. ISIS juga berinisiatif mengeluarkan perempuan dan anak dari teritorial mereka.
Aleeyah lalu diminta suaminya untuk keluar lebih dulu bersama anak mereka lewat jalur yang resmi. Pada Desember 2017, Aleeyah dan anaknya bersama sejumlah perempuan di sana akhirnya diangkut dengan truk.
Naasnya, perjalanan itu juga tak mulus lantaran truk disetop oleh sekumpulan orang berseragam tentara dengan emblem YPG, organisasi militer Partai Persatuan Demokratik di Suriah yang mengendalikan sebagian besar wilayah Rojava.
Selanjutnya, Aleeyah enggan menceritakan kejadian miris yang dialaminya ketika itu, sampai akhirnya ia pun dipindahkan ke kamp pengungsian Rojava, Suriah. Sudah sekitar 2 tahun tinggal di Kamp Rojava, Aleeyah mengaku terus berdoa dan berharap bisa keluar dari wilayah itu ke tempat lebih baik. “Kalau jawabannya pulang ke Indonesia, alhamdulillah.” (tempo)