INIPASTI.COM, JAKARTA – Rencana pemulangan eks kombatan ISIS dari Suriah oleh pemerintah Indonesia masih terus menimbulkan polemik. Seperti diketahui, sampai dengan saat ini ada 660 WNI yang diduga terlibat Foreign Terrorist Fighter (FTF) atau terduga teroris lintas batas.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas NH Kertopati, menilai, ada sejumlah implikasi yang harus dihadapi Indonesia terkait jadi tidaknya rencana pemulangan eks ISIS.
“Seyogyanya kita harus tegas hadapi orang yang sudah meninggalkan kewarganegaraan dengan menghancurkan paspor RI. Jelas sesuai fakta mereka memang sudah tidak mengakui negara kita sebagai negara yang pro Pancasila,” kata wanita yang akrab disapa Nuning itu, Jumat (7/2/2020) di Jakarta.
Lagipula, selama ini Indonesia memiliki UU No. 12 Tahun 2005 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam pasal 23. Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa WNI yang mengikrarkan diri untuk setia terhadap negara lain akan kehilangan kewarganegaraannya.
“Tetapi, kita juga harus hati-hati karena disisi lain pemerintah Suriah menganggap ISIS sebagai kombatan termasuk (eks) WNI dan akan dituntut. Hal ini dapat menimbulkan isu tentang perlindungan eks WNI sebagai isu kemanusiaan,” ucapnya.
Dalam hal ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta kementerian lembaga terkait tentunya memiliki pekerjaan rumah besar. Termasuk harus memiliki konsep yang tepat dalam mengatasi masalah ini lantaran bisa saja akan ada isu menguat terkait Humanitarian karena adanya eks WNI yang membawa anak usia 0-10 tahun yang seharusnya mendorong pemulangannya ke tanah air.
“Dalam hal ini kita juga patut mengakomodasi hukum-hukum internasional yang juga berlaku, agar kitapun tetap memiliki hubungan diplomasi yang seimbang dan secara resiprokal menguntungkan dengan negara lain yang berurusan dengan eks WNI yang terlibat ISIS ini,” ujar Nuning.
Di sisi lain, jika opsi pemulangan yang dipilih Indonesia, maka pemerintah tidak bisa begitu saja membiarkan eks ISIS kembali ke masyarakat umum. Harus ada proses screening lengkap dengan uji kebohongan.
“Harus ada pendampingan dari psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama yang pro NKRI. Merekapun harus terus diawasi gerak geriknya jangan kita justru biarkan agen ISIS berkeliaran bebas di tengah masyarakat,” kata Nuning.
Saat ini dirinya meyakini, dengan terbentuknya Koopssus TNI, maka upaya pemerintah memberantas teroris akan semakin fokus dan tuntas. Interoperabilitas Koopssus TNI dan Detasemen Khusus 88 Polri merupakan dambaan mayoritas masyarakat Indonesia.
“Radikalisme dan ekstremisme di Indonesia memang harus dilawan oleh semua komponen bangsa. Saat ini terorisme adalah musuh bersama (public enemy) yang memang menjadi target bersama TNI-Polri. Seyogyanya alangkah baiknya bila Koopssus ini juga untuk pemberantasan radikalisme ke dalam institusi TNI Polri dengan pendekatan sosial budaya,” ucapnya (syakhruddin).