PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Lion Mentari Airlines mengaku merugi karena dua jenis armada Boeing milik kedua perusahaan terkena larangan terbang (grounded), yakni 737 MAX 8, dan 737-800 NG.
Boeing 737 MAX 8 dilarang terbang usai insiden kecelakaan yang menimpa Lion Air
JT-610 pada 29/110/2018 lalu.
Lion Air tercatat memiliki 10 unit Boeing jenis ini. Sementara, Garuda
Indonesia mengoperasikan satu unit armada pesawat sejenis.
Selain itu, Boeing 737-800 NG masuk kandang karena mengalami retakan. Satu
armada milik Garuda Indonesia, sedangkan dua lainnya milik Sriwijaya AIr, dan
dua sisanya milik Lion Air.
“Selama kami grounded ini, kami ada kerugian. Tidak bisa mendapatkan revenue (pendapatan) dari penumpang,
juga mengenai leasing (sewa),” kata Direktur Teknik dan Layanan
Garuda Indonesia Iwan Joeniarto, Kamis (31/10/2019).
Saat ini,
sambung dia, perseroan tengah menunggu skema perbaikan untuk keretakan pada
pesawat Boeing 737-800 NG. Sedangkan terkait Boeing 737 MAX 8, ia mengaku masih
menunggu rekomendasi terbang dari otoritas Federal Aviation Administration
(FAA) dan Kementerian Perhubungan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Lion Air Edward Sirait mengakui
terdapat kerugian cukup besar akibat larangan terbang tersebut. Namun demikian,
ia masih menunggu skema perbaikan dari Boeing untuk pesawat Boeing 737-800 NG.
“Mereka bilang tidak sampai akhir tahun ini. Setelah terpasang kami bisa
terbang lagi,” jelasnya.
Lebih lanjut Edward juga masih menanti kepastian hukum terkait terkait
permasalahan Boeing 737 MAX 8. Sebagaimana diketahui, CEO Boeing Dennis
Muilenburg tengah menjalani proses sidang di Senat AS.
Dennis mengakui kepada Senat bahwa perusahaannya melakukan kesalahan dengan
desain Boeing 737 MAX dan layak mendapatkan pengawasan setelah dua kecelakaan
fatal Lion Air dan Ethiopian Airlines.
“Ini menyangkut tanda kutip negara atau industri yang sangat besar. Bisa
jadi menyangkut masa depan mereka, jadi kami tunggu saja pernyataan
resminya,” pungkasnya.
Sementara itu, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi meminta produsen pesawat asal Amerika Serikat (AS), Boeing bertanggung jawab kepada keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610.
Seperti yang diketahui, Lion Air JT-610 yang menggunakan pesawat Boeing 737 Max 8 jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat pada 29/10/ 2018 lalu. Menhub pun telah mengantongi hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) atas insiden tersebut.
“Tidak kalah penting dan signifikan adalah bagaimana Boeing juga harus berikan satu tanggung jawab baik kepada airlines (maskapai) maupun penumpang,” katanya,
Dalam laporannya, KNKT menyebut salah satu penyebab jatuhnya pesawat pengangkut
178 penumpang itu karena ketidaksesuaian desain pesawat Boeing 737 MAX 8 dengan
reaksi pilot.
Khususnya, jika terjadi kerusakan pada Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), fitur baru di Boeing 737 MAX 8.
Namun, Budi
menyerahkan penyelesaian musibah Lion Air JT-610 tersebut kepada dua pihak
karena menyangkut ranah bisnis.
“Kami menyerahkan kepada airlines (maskapai) silakan bussiness to
bussiness untuk
menjelaskan,” katanya.
Ditemui dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Lion Mentari Airlines
Edward Sirait mengaku masih menunggu kepastian hukum terkait permasalahan
Boeing 737 MAX 8.
Muilenburg enggan berkomentar banyak terkait jalannya sidang tersebut.
Pasalnya, hal ini menyangkut bisnis dan dunia penerbangan global. Namun, ia
mengapresiasi upaya Senat AS kepada Boeing lantaran langkah tersebut bisa
memberikan kepastian hukum bagi Lion Air dan Ethiopian Airlines.
“Jadi kami lebih baik menunggu saja. Nanti pada akhirnya rilis resmi, baru
setelah itu kami bisa komentar,” ujar Muilenburg.
Selain masalah MCAS, KNKT menuturkan terdapat delapan faktor lainnya yang
dinilai berkontribusi menyebabkan kecelakaan pesawat Lion Air. Salah satunya
adalah tidak ada panduan pelatihan ataupun informasi mengenai MCAS di buku
panduan pilot, sehingga pilot tidak mengetahui soal sistem baru tersebut (bs/syakhruddin)