Syahdan di zaman antah berantah, hiduplah dua anak manusia yang sedang di mabuk asmara, dalam kehidupan yang berlangsung lama dan saling memberi penguatan diantara keduanya, akhirnya tiba di titik nadir yang mereka namakan, pemberontakan dalam diam.
Kenapa semua itu terjadi, disebabkan rasa cinta dan sayang yang tak dapat diwujudkan dalam bentuk kenyataan di kekinian. Begitulah sekelumit pengantar dibalik tulisan ini.
Berbeda dengan kondisi dan suasana mudik, sebagian besar warga yang mudik ke kampung halaman harus menyabung nyawa, beberapa diantaranya mengakhiri hidupnya saat menuju kampung halaman, sebahagian lainnya berpulang kerakhmatullah setelah selesai libur lebaran di tengah sanak family.
Dimana dalam pertemuan kali ini, merupakan libur terakhir di mayapada, disebabkan dalam perjalanan pulang ke rumahnya mobil yang ditumpangi atau sepeda motor yang digunakan tabrakan atau terjun ke jurang dan berbagai jenis kecelakaan lainnya, yang berujung pada maut.
Haruskah kondisi seperti ini terulang setiap tahun ??? sebuah pertanyaan yang menuntut kita ikut bertanggunjawab, bukan saja Pemerintah akan tetapi masyarakat juga harus mengambil bagian aktif sehingga tanggungjawab yang sama harus dipikul oleh kedua belah pihak.
Demikian halnya dengan sarana dan prasarana jalan semuanya saling terkait agar budaya mudik ini dapat mengeleminir korban yang setiap tahunnya terjadi di jalur yang sama. Haruskah kita memberontak kepada pemerintah ??? ataukah kita tetap memberontak dalam diam, wallahu alam bissawab.
Terlepas dari semua itu, mari dengan momentum di bulan suci ramadan dan suasana idul fitri yang membuat kita sebagai pengikut Nabiullah Muhammad SAW. untuk kembali meningkatkan pemahaman tentang keagaamaan, membangun sinergitas antara dunia dan akhirat.
Hal lain yang tak kalah menariknya, ketika pintu rumah di ketuk oleh dua orang yang datang ba’da sholat Isya di hari Sabtu malam, 2 Agustus 2014, ternyata yang datang adalah anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang selama ini bertugas di Kabupaten Kutai Timur di Kalimantan Timur setelah terangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di SMP Negeri Karangan Kutai Timur.
Ada rasa bahagia setelah mendengar berhasil dalam perantaunnya, apalagi dulu waktu kami semua masih aktif di birokrasi Indonesia, Saudara Agus ini memang memiliki disiplin yang tinggi, karena yang bersangkutan adalah anggota Resimen Mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar.
Dari pengalaman yang dituturkannya, betapa dia sangat rindu akan kampung halamannya di Malakaji Kabupaten Gowa, khususnya disaat-saat menjelang masa lebaran. Semua itu dilakukan dengan menabung untuk bisa mudik ke kampung halaman dari hasil kerjanya sebagai seorang guru pendidikan jasmani sekaligus membuka jasa cuci motor pada saat pulang mengajar.
Apa yang dilakukan Agus adalah sebuah Umega (usaha menambah gaji) yang dilakukan dengan penuh semangat untuk memberikan motivasi diri dan mengumpulkan setiap lembaran Sudirman untuk kelak digunakan sebagai biaya transfort kembali ke kampung halaman.
Betapa nikmat nuansa ramadan yang menggerakkan seluruh sendi kehidupan dalam balutan silaturahmi yang mengharubiru namun terkadang bila perhatian menjadi terbagi, maka terkadang seseorang lalu memilih jalan untuk menepi dan membungkam semua sarana komunikasi.
Tindakan seperti itu, juga dapat dikatakan sebuah bentuk perlawanan untuk melawan nafsu amarah setelah sebulan lamanya berpuasa.
Upaya untuk tetap tegar dalam melakoni setiap jengkal kehidupan dan menerima dengan kemasygulan setiap episode kehidupan ditampilkan dalam postur keniscayaan yang kami sebut “Pemberontakan Dalam Diam”, salamaki.