
SYAKHRUDDIN.COM -Duduk di beranda rumah sembari membaca dua harian terkemuka di kotaku, Fajar dan Tribune Timur yang selalu meng-update informasi terkini, mulai dari masalah Capres, penerimaan murid baru, lebaran bahkan sampah yang menjadi bagian penting dari program Walikota Makassar Bapak Danny Pamanto.
Tetapi pagi ini, ada sesuatu yang hilang dalam pandangan indah di pagi hari, yakni bunga anggrek yang biasanya menunjukkan bunga indah yang mekar di pagi hari, kini mulai terlihat layu dan daunnya lesu.
Sejenak anganku melambung tinggi, dalam cakupan cakrawala pagi yang tertutupi awan tipis, perasaan syahdu yang selama ini memenuhi relung-relung hatiku seakan terasa hampa, kemanakah gerangan bunga anggrek yang selalu memberiku keceriaan, kemana bunga indah itu bertapa ? tanyaku dalam hati.
Namun angan itu segera buyar, tak kalah sebuah sepeda motor yang membunyikan klakson dengan nyaring, seraya melambaikan tangan kepadaku, Assalamu Alaikum Pak Haji dan segera membalas salam, Waalaikum salam warakhmatulahi wabarakatuh.
Bukankah agama telah mengajarkan kepada kita, hendaklah engkau menjawab salam dengan sempurna bagi saudaramu yang memberimu selamat dan itu memang harus dibudayakan.
Namun saat kutatap kembali anggrek itu, tampaknya semakin lusuh dan daunnya kian merunduk, mungkin karena batangnya jarang terkena air sementara sabut yang melingkupinya kini mulai retas diterpa panas.
Sepintas terbayang wajah Bapak Prabowo yang menghadiri buka puasa di Istana Presiden bersama Bapak Jokowi, namun dari tampilan Bapak Prabowo terkesan memendam sesuatu perasaan hati yang hanya Tuhanlah yang maha mengetahui, sementara Bapak Jokowi begitu dingin, sama dengan es Thailand yang digunakan untuk buka puasa di istana Presiden kemarin.
Mungkin saja anggrek ini mewakili perasaan Bapak Probowo, namun bagiku selalu ada harapan untuk berbunga kembali, sebagaimana Bapak Prabowo bisa kembali bertarung untuk lima tahun mendatang.
Tetapi saat setan datang berbisik pelan, anggrek itu sudah uzur, dia akan memberi bunga baru dari tunas yang baru, sama dengan dirimu yang kini sudah pensiun, tak mungkin lagi akan kembali memimpin, karena sudah ada tunas baru dibelakangmu yang kini lebih indah dari anggrek sebelumnya.
Sama dengan sahabatmu yang dulu di Mannuruki dan kini sudah meninggalkanmu, dia tak pernah akan kembali lagi, apalagi di tempat yang baru jauh lebih bagus dibanding saat di Mannuruki. Sama nasibnya dengan potongan angrek yang terpajang dan terawat di sudut taman, itu tak mungkin lagi akan menyatu.
Disaat asyik bercengkrama dalam dialog batin bersama sang anggrek, tiba-tiba datang Daeng Serang, langganan sayur di Gowa, sambil berteriak ; sayuuur …. sayuùur, ku terhenyak dalam lamunan, seraya memberi senyum di pagi hari, bukankah senyum itu adalah ibadah, ujarku dalam hati.
Dg. Serang berlalu dan pandangan pada pohon anggrek seakan tak mau lepas, sama dengan ketika kulepas sseseorang 15 tahun silam menuju kapal Pelni yang akan mengantarnya kembali ke kampung halamannya.
Kilas balik perjalanan sejarah masa silam, kini menguasai seluruh perasaan dan ruang fikir yang selama ini sering kugunakan untuk berfikir rasional, benar-benar dalam permainanan suasana yang seakan masih baru saja terjadi padahal, ini sudah berlangsung untuk tiga kali pemilihan presiden.
Akh, teganggaku yang kontrak di depan rumah dari lantai dua nongol dan membuka jendela rumahnya, sembari berteriak, “Ketik apa Pak Haji, kok serius benar, dengan sedikit tersipu lalu menjawab santai, Biasa mbak, laporan pagi, sambil tersenyum manis ….. bahkan amat manis seperti ketika aku bertemu pertama kali sahabatku di Kota Parahayiangan.
Lain halnya dengan jamaah Masjid Al-Abrar, yang datang cuti ke Makasaar setelah sekian tahun di Sunda, kedatangannya mengantar cucunya. Saat kami tanyakan tentang jalan hidupnya, ternyata beliau sudah lama tinggal di Kota Bandung Lautan Api, karena pasangan hidupnya ternyata orang Moyang bandung.
Salah seorang anaknya yang bekerja di Pertamina bertugas di Makassar, dan terus berkarier di Kota Daeng walaupun isterinya juga orang dari seberang.Dari Bincang lepas pasca sholat Ashar, beliau menuturkan tentang perjalanan kariernya hingga mencairkan suasana dengan joke-joke yang mengatakan ;
Kalau orang Sulawesi sekeolah ke Bandung, beristeri dan tinggal disana itu berarti sudah “Lego Jangkar” sebaliknya kalau belajar disana dan kembali membawa isterinya ke Makassar, berarti dia hanya sekedar ” Buang janglar “
Naluriku mulai mencari konotasi dari perbincangan para pensiunan di Masjid Jami Al-Abrar, bagaimana kalau keduayua belum bisa terlaksana ???, secepat kilat fikiranku berkelana dan memnjawab anekdot tersebut bahwa itu, : “Memperpanjang Tali Jangkar”
Sebagai mana saat pertandingam final sepak bola antara Jerman dan Argentina, yang dimenangkan Jerman setelah perpanjangan waktu. Apakah dengan perpanjangan tali jangkar ini, akan melahirkan sebuah pemenang, kita nantikan kesudahanya atau masihkah anggrek ini akan memberikan bunga yang baru, biarlah sejarah yang akan mencatatnya, salamaki
—