Dalam kaidah Bahasa Indonesia, Kata “BLUSUKAN“ atau kunjungan secara diam-diam ke kampung-kampung. Kata ini sangat populer sejak Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Beliau selalu menyempatkan diri menemui warganya yang ada di Bantaran Sungai, di Rusunnawa atau Kawasan Kumuh lainnya, di berbagai pelosok Metropolitan Jakarta alias turba (turun kebawah).
Blusukan secara harfiah dapat diartikan, sebagai salah satu sikap tanggungjawab terhadap amanat rakyat, tanggungjawab terhadap harta, keamanan, keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Jika mempunyai rasa tanggungjawab pada rakyat, tentu saja dia tidak akan menjadikan uang rakyat dijadikan bancakan dan harta warisan keluarga lewat anggaran. Pemimpin tipe yang demikian ini akan malu, jika membuat anggaran yang neko-neko dengan nomila yang tidak masuk akal.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan Jokowi, adalah implementasi dari konsep kepemimpinan yang pernah dilakoni Amirulmukminim, “Umar Bin Hattab“.
Syahdan dimasa pemerintahan Khalifah Umar, setiap malam selalu berkunjung ke kampung (blusukan) yang jauh dari istananya
Suatu ketika, dia mendengar seorang anak yang sedang menangis dan minta makan, akhirnya sang ibu memasak batu untuk menghibur anaknya.
Setiap kali anaknya menangis, Sang Ibu berkata, “Sabar nak, sebentar lagi masak”. Umar bin Hattab, lalu ke gudang kerajaaan, mengambil gandum dan memikulnya sendiri ke rumah ibu dan anak yang sedang dilanda kelaparan.
Dari dua konteks diatas, menunjukkan bahwa Al-Quran sebagai pegangan hidup bagi umat manusia, telah membicarakan tentang masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Karena itu, apa yang dilakukan Jokowi di Jakarta, tidaklah terlalu mengherankan, tapi yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa hanya Jokowi yang menerapkan konsep pemerintahan versi amirululmukminim Umar bin Hattab.
Jawabannya, karena pemimpin kita lebih banyak duduk dan mengendalikan pemerintahan di Istananya, menerima setoran bahkan laporan bawahan yang ABS (Asal Bapak Senang).
Pemimpin yang demikian kini semakin banyak, sehingga wajar saja, kalau hasil dari lima lembaga survei yang punya reputasi nasional, mendudukkan Jokowi sebagai kandidat calon Presiden 2014 karena senang “blusukan”
Memasuki era peringatan Kemerdekaan RI Ke-68, sebaiknya kita kembali menemui konsituen, menanyakan apa yang menjadi keinginan dan harapan serta mimpi-mimpi mereka, bukannya membuat spanduk besar, dengan kalimat Bahasa Inggeris serta slogan yang terkadang sulit di mengerti masyarakat kecil.
Bagi pemilih, sebenarnya tidak terlalu muluk-muluk, untuk warga sudah senang, bilamana harga terjangkau, tersedia di pasaran dan situasi keamanan terjaga dengan baik, sehingga dapat melakukan aktifitas untuk memenuhi hidup sehari-hari.
Pada momentum idul fitri, dimana banyak pemimpin negeri melakukan open house. Lain halnya dengan Jokowi, malah kembali “blusukan”dengan membawa uang pecahan Rp 100 ribu untuk kaum dhuafa dan Rp 500 ribu bagi yang berusia lanjut dan telantar.
Sebuah pemaknaan yang syarat perhatian, dibandingkan dengan open hause yang menghabiskan jutaan rupiah, termasuk apa yang dilaksanakan Presiden SBY menghabiskan anggaran yang besar.
Fenomena Jokowi adalah sebuah pengulangan sejarah, kini menjadi tren di kalangan calon legislator yang akan menduduki gedung DPRD, untuk dan atas nama rakyat yang diwakilinya.
Semoga blusukansang calon legislator, bukan hanya sekedar lip service semata, karena survey membuktikan, sebelum jadi anggota dewan, rajin ke masyarakat, setelah jadi wakil rakyat malah doyan ke diskotik, nauzubillahi minzalik.
Salam Takzim,
www.syakhruddin.com
email : syakhruddin@gmail.com
email : syakhruddin@yahoo.co.id
SMS 081 2424 5938 PIN 2A2 FC 722