
SYAKHRUDDINNEWS.COM – Ribuan warga Israel turun ke jalan dan berkumpul di depan gedung Parlemen di Yerusalem pada Rabu, 19 Maret 2025, untuk memprotes keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu melanjutkan kembali serangan ke Jalur Gaza. Keputusan ini mengakhiri gencatan senjata dengan Hamas dan memperburuk ketidakpastian nasib para sandera yang masih ditahan.
Gelombang kemarahan publik semakin memuncak setelah Netanyahu memecat Kepala Badan Intelijen Shin Bet, Ronen Bar. Banyak warga khawatir bahwa Netanyahu akan menunjuk loyalisnya untuk posisi penting tersebut, yang dapat mengancam stabilitas keamanan nasional.
Protes Massal dan Kekhawatiran Publik
Menurut laporan The New York Times, ribuan demonstran memblokade jalan raya utama menuju Yerusalem sejak pagi hari. Aksi ini mengingatkan kembali pada gelombang protes besar-besaran tahun lalu yang dipicu oleh keputusan Netanyahu untuk melemahkan wewenang peradilan sebelum agresi ke Gaza dimulai.
Dilansir di laman CNN “Pemerintah tidak bertindak demi kepentingan terbaik rakyat. Sebaliknya, mereka hanya melayani kepentingan politik mereka sendiri demi mempertahankan kekuasaan,” ujar Merav Hemi (45), salah satu demonstran.
Serangan Israel ke Gaza yang dimulai pada Selasa, 18 Maret 2025, telah menewaskan lebih dari 400 orang, termasuk lebih dari 100 anak-anak. Langkah ini diduga sebagai upaya Netanyahu untuk mempertahankan koalisi pemerintahannya yang kian rapuh. Menteri sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, yang sebelumnya mengundurkan diri, kini kembali mendukung Netanyahu setelah serangan tersebut.
Politik dan Perang: Kepentingan Netanyahu di Balik Konflik
Tak lama setelah pemboman di Gaza, partai Jewish Power pimpinan Ben-Gvir mengumumkan bergabung kembali dengan koalisi Netanyahu. Langkah ini terjadi di tengah persidangan kasus korupsi yang melibatkan Netanyahu serta menjelang pemungutan suara penting terkait anggaran negara.
Jajak pendapat terbaru dari Israel Democracy Institute menunjukkan bahwa mayoritas warga Israel sebenarnya lebih menginginkan perdamaian. Sekitar 70 persen mendukung negosiasi dengan Hamas untuk mengakhiri perang dan penarikan pasukan Israel dari Gaza sebagai imbalan atas pembebasan sandera. Bahkan, 61,5 persen pemilih Partai Likud—partai yang dipimpin Netanyahu—mendukung kelanjutan gencatan senjata.
“Saya sangat khawatir dengan kemungkinan perang saudara. Negara ini semakin terpecah. Orang-orang kehilangan kepercayaan pada demokrasi dan kehidupan yang kita jalani sebelum semuanya terjadi,” ujar Yuval Yairi, seorang seniman dari Yerusalem yang juga mantan direktur sekolah seni, kepada CNN.
Krisis Hukum dan Manipulasi Kekuasaan
Ketua Gerakan untuk Pemerintahan Berkualitas di Israel, Elias Shraga, menilai bahwa perang yang dilancarkan Netanyahu lebih bertujuan untuk mempertahankan kekuasaannya ketimbang melindungi rakyat Israel.
“Netanyahu ingin lolos dari jeratan hukum. Itulah satu-satunya alasan kita menghadapi kudeta rezim dan perang berdarah ini. Ini adalah kombinasi yang berbahaya,” kata Shraga kepada CNN.
Netanyahu seharusnya menghadiri persidangan kasus korupsinya pada Selasa. Namun, sidang tersebut dibatalkan beberapa jam sebelum dimulai karena eskalasi militer di Gaza. Netanyahu sendiri membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Dengan meningkatnya tekanan dari dalam negeri dan komunitas internasional, masa depan politik Netanyahu dan situasi di Gaza kini berada di titik kritis. Apakah keputusan Netanyahu untuk melanjutkan perang akan memperkuat kekuasaannya, atau justru mempercepat kejatuhannya? Waktu yang akan menjawab (sdn)