SYAKHRUDDIN.COM – Jajaran Kementerian Sosial RI kini mendapatkan Nakhoda baru, bagaimana harapan dan tantangan ke depan, berikut ini di ulas tuntas oleh Chazali H.Situmorang, mantan Sekjen Depsos yang kini bermukim di Bogor, berikut ulasannya ;
Agar Kemensos para birokratnya dapat bekerja secara profesional, berintegritas, dengan hati nurani, maka diperlukan figur seorang Menteri yang kuat, berintegritas, tegas, dan yang terpenting dari semua itu adalah non partisan yaitu tidak terikat dengan golongan atau partai politik manapun.
Bu Risma nama lengkapnya Tri Rismaharini, Mensos yang baru ditunjuk Presiden Jokowi 23 Desember 2020 yang lalu, merupakan seorang Walikota Surabaya selama 10 tahun yang penuh prestasi dan mendapat penghargaan dunia.
Sebelumnya Bu Risma, adalah seorang birokrat meniti karier dari bawah sebagai PNS (ASN), di Pemda Surabaya, dengan karier puncaknya sebelum terpilih menjadi Walikota adalah Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya (2005) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya (2008).
Karena Walikota jabatan politis, memerlukan dukungan dari partai politik, PDI-P mencalonkan Bu Risma sebagai calon Walikota karena dengan kalkulasi politik dan tren keinginan masyarakat Surabaya, Bu Risma mendapat dukungan cukup besar, bahkan pada pemilihan periode kedua menang mutlak lebih 85%. Rakyat Surabaya mencintainya karena keberhasilannya menjadi Surabaya kota hijau, bersih dan asri. Siapapun ke Surabaya akan merasakan hal tersebut.
Bu Risma bukanlah aktivis partai, seperti Mensos sebelumnya Juliari Peter Batubara, tetapi hubungan emosional Bu Risma dengan Bu Megawati sangat erat sekali. Sewaktu wartawan bertanya tentang isu akan menjadi Mensos, Bu Risma dengan enteng mengatakan “Saya terserah bu Mega saja”. Suatu ungkapan yang bijak dan mengena, karena dia mengerti Presiden Jokowi akan menunjuk Mensos dari PDI-P yang diusulkan Bu Megawati.
Dengan latar belakang birokrasi, dan sebagai pejabat publik Walikota di kota kedua terbesar setelah Jakarta, tentu mengerti dinamika percaturan politik, dan berhasil menjalankan tugasnya “lolos” dari jebakan politik yang sempat ingin melengserkannya.
Pengalaman yang panjang itu, akan menjadi modal kerja yang tangguh untuk memasuki Kementerian Sosial, yang saat ini sedang babak belur dihantam gelombang tsunami korupsi bansos sembako Covid-19 Jabodetabek, yang memakan korban Menteri, dan 2 pejabat Kemensos. Kasus ini bergulir terus digoreng kesana kemari, sampai menerpa “anak pak lurah” yang dikuliti habis oleh majalah Tempo dan koran Tempo minggu lalu.
Persoalan korupsi itu, biarlah diselesaikan oleh KPK, sampai dimana akhirnya proses hukum yang berjalan, dan tugas Bu Risma mengupayakan untuk tidak mengganggu kinerja Kementerian Sosial menyelesaikan persoalan kemiskinan di masa Covid-19 saat ini. Sekjen Kemensos Hartono Laras sudah menyatakan “ Kementerian Sosial tetap terus melanjutkan program-program penanganan kemiskinan dalam situasi Covid-19 saat ini” dalam konferensi pers beberapa saat Mensos JP Batubara menyerahkan diri ke KPK.
Ada 4 persoalan pokok yang secara simultan harus diselesaikan oleh Bu Risma sebagai Mensos.
Pertama; DTKS, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. semua skema bantuan program yang diluncurkan akan menjadi tidak efektif jika salah sasaran, walaupun tepat waktu dan tepat jumlah. Kasus-kasus inclusion error, dan exclusion error tidak boleh terjadi lagi.
Data yang didapat dari lapangan harus dibuka ke masyarakat. Umumkan di papan publikasi desa, media cetak lokal, dan diberikan ruang untuk koreksi sesuai yang ditemukan di lapangan. Soal ini Bu Risma sudah pengalaman. Permainan petugas, perangkat desa/kelurahan, LSM, Pendamping akan di “gempur” langsung oleh beliau. Taman Bungkul yang dirusak masyarakat dalam suatu event kegiatan, pihak yang bertanggungjawab habis-habisan di gempur sang Walikota untuk segera memperbaiki.
Karena urusan salah sasaran merupakan masalah dilapangan, sedangkan tepat waktu dan tepat jumlah di level Kementerian, tentu Bu Risma sudah punya treatment sendiri.
Kedua; Kemensos mencatat ada 27 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang harus ditangani. Dari 27 jenis itu, dikelompokkan menjadi 6 kelompok besaran yakni; keterlantaran; kecacatan; keterpencilan; ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. ( UU No. 11 tahun 2009 Tentang Kesos).
Termasuk juga mengurus puluhan panti sosial di beberapa propinsi, yang dulunya ada sekitar 250 panti sosial, dan karena otonomi daerah sebagian besar diserahkan ke Pemerintah Kab/Kota.
Persoalan PMKS (Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial) ini, tidak ada kementerian lain yang menanganinya. Amanat UU Kesos kepada Kemensos. Ini pekerjaan yang memang memerlukan kesabaran, dan dengan hati, karena menghadapi manusia yang tidak beruntung secara fisik, atau mental dan bahkan keduanya.
Bagaimana Bu Risma menyelesaikan persoalan WTS di Gang Dolly, yang didukung Kemensos waktu itu, merupakan best practice untuk merumuskan kebijakan dan strategi menuntaskan PMKS secara nasional.
Ketiga; Persoalan Kemiskinan. Sebenarnya penyelesaian kemiskinan itu lintas kementerian. Kemensos berperan sebagai “penjuru”. UU Nomor 13/2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, menempatkan Kemensos pada posisi strategis untuk berkolaborasi terkait penyediaan data orang miskin (DTKS), dan jenis-jenis bantuan untuk mengentaskan kemiskinan, dan bagaimana hubungan koordinasinya dengan Pemerintah Daerah.
Dukungan pemerintah sejak 20 tahun terakhir ini luar biasa. APBN nya melonjak naik tajam, yang pada awal reformasi (Depsos baru tahun 2000), tidak sampai Rp. 1 triliun, naik 100 kali menjadi sekitar Rp. 100 triliun lebih saat ini dengan program unggulan PKH, BPNT, BLT, Program UEP KUBE, dan jaminan sosial bagi penyandang cacat dan lansia terlantar.
Bahkan pada tahun 2021, Kemensos termasuk 10 kementerian yang mendapatkan APBN terbesar. Kemensos di urutan keempat sebesar Rp. 92,8 triliun setelah Kementerian PU (149,8 triliun), Kementerian Pertahanan ( 137,3 triliun) dan Kepolisian (112,1 triliun).
Kata kuncinya menurut Bu Risma, penduduk miskin sudah susah jangan lagi dibuat susah. Dalam suasana pandemi Covid-19, biarkan saja mereka di rumah, menunggu bantuan sosial sampai di rumah mereka. Tahun depan tidak ada lagi bantuan sosial yang bersifat natura, semua bentuk uang. cash transfer ( yang sudah berlaku pada PKH). Jika si miskin itu ada nomor rekening ( tabungan), dikirimkan langsung ke nomor rekeningnya. Jika tidak ada, Kantor Pos yang antar langsung ke rumah. Tidak ada lagi kerumunan di kantor Pos.
Program BPNT ( Bantuan Pangan Non Tunai), dengan e-warung, menggunakan edc, perlu dievaluasi, apalagi keberadaan vendor yang menyediakan logistik sembako ke e-warung, ada yang kualitas barangnya tidak bermutu. Peluang kongkalikong antara Himbara, vendor, warung abal-abal, dan pendamping yang merugikan KPM harus dapat dicegah sedini mungkin.
Keberadaan pendamping KPM yang menyusahkan dan mempersulit KPM juga perlu dievaluasi, dan digantikan dengan relawan pendamping yang profesional, dan bekerja dengan hati nurani. Apalagi kalau ada pendamping yang bermain politik lebih baik mengundurkan diri.
Mungkin perlu strategi khusus di remote area, terpencil, antar pulau, di balik gunung. Bu Risma tidak boleh abaikan mereka ini. Sebab kemiskinan itu yang paling dalam di daerah-daerah itu. Bu Risma bisa datangi masyarakat kubu, dayak, badui, pulau-pulau terluar, nelayan miskin yang tinggal di perahu. Kerja sama dengan Sektor lain menjadi penting misalnya dengan KKP, dan Kementerian Daerah Tertinggal.
Keempat;Persoalan SDM. Dengan ledakan dahsyat kasus korupsi Bansos Covid-19 Jabodetabek, dengan anggaran triliun rupiah, secara mental birokrat Kementerian sudah mengalami “Down grade “. Bahkan berpotensi mengalami mental disorders. Padahal itu kelakuan segelintir pejabat, tapi melibatkan seorang Menteri. Disinilah beratnya beban Kementerian ini, karena mereka para birokrat itu yang bertanggungjawab sebagai penyelenggara negara.
Masih banyak pejabat yang bekerja profesional, dengan hati, ikhlas, berintegritas. Tugas Ibu Risma menemu kenalinya. Puluhan tahun sebagai birokrat dan Walikota tidak sulit bagi Bu Risma untuk mencari solusi, untuk menjemput kembali “semangat” mereka yang sempat hilang.
Bu Risma dapat menilai, mana yang suka di comfort zone”, mana yang berani risk-taking” untuk menyelesaikan persoalan, atau ada yang senangnya menyalahi orang lain, tapi miskin solusi. Bu Risma dapat melakukan pemetaannya.
Tetapi jangan cepat-cepat Ibu Risma menyatakan di media, akan membawa orang Pemda Surabaya untuk memperkuat Kemensos. Itu bisa blunder, dan menjadi tidak kondusif. Pengalaman selama ini, penempatan Staf Khusus, Tenaga Ahli atau apapun namanya semakin menjauhkan Menteri dengan perangkat birokrasi struktural dan fungsional di kementerian.
Saat ini Bu Risma sedang blusukan dalam perjalanan darat dari Surabaya ke Jakarta, mendatangi kantong-kantong kemiskinan. Itu bagus sebagai starting point bertugas, dan memberi pesan kepada para pejabat Kemensos, melakukan blusukan, menemu kenali persoalan kemiskinan dan PMKS di masyarakat, sehingga akan berada dalam frekuensi amplitudo yang sama dengan menterinya.
Keinginan Bu Risma untuk masuk surga karena niat dan perbuatan baik, pasti akan didoakan orang miskin yang tertolong. Biasanya doa orang miskin itu bebas hambatan. Tetapi Ibu tidak sendiri ke surga, diikuti penyelenggara di Kementerian Sosial yang sudah satu frekuensi tadi. Insya Allah (syakhruddin)