SYAKHRUDDIN.COM, JAKARTA – Shin Tae Yong menerapkan disiplin tinggi untuk para pemain Timnas Indonesia U-19 selama berlangsungnya pemusatan latihan (TC) untuk Piala Asia U-20 2021.
Disiplin ala Shin Tae Yong bahkan sudah memakan korban di tahap awal TC. Dua pemain Timnas Indonesia U-19 yakni Serdy Ephy Fano dan Ahmad Afrizal dicoret jelang keberangkatan tim ke Kroasia, Sabtu (29/8/2020) lalu.
Keduanya melakukan pelanggaran indisipliner karena pemain yang tinggal satu kamar ini telat bangun dan terlambat mengikuti sesi latihan pada Sabtu pagi.
Dilansir dilaman CNN, Keputusan Shin Tae Yong mencoret Serdy dan Afrizal karena alasan indisipliner direspons positif oleh legenda Timnas Indonesia, Bambang Nurdiansyah. Banur, sapaan akrabnya, memuji ketegasan mantan pelatih Timnas Korea Selatan itu.
Menurut Banur, pemain profesional sudah seharusnya terbiasa dengan disiplin tinggi yang diterapkan pelatih.
“Apa yang diterapkan Shin Tae Yong ini menurut saya positif. Memang harus begitu. Pemain tahu, mereka harus siap lebih awal sebelum latihan dimulai,” ucapnya.
Banur mengungkapkan hampir semua pelatih di seluruh dunia menerapkan disiplin tinggi, tak terkecuali Shin Tae Yong. Hal ini berbeda dengan pelatih di tanah air yang disebut Banur penuh toleransi.
“Dua pemain yang dicoret ini dampak dari sikap indisipliner. Tapi pencoretan itu jadi shock therapy buat pemain lain supaya lebih disiplin dan tidak melakukan hal yang sama. Bukan hanya soal bangun tidur telat saja, tapi disiplin dalam segala hal,” ujarnya.
Banur lantas menceritakan pengalamannya saat dilatih Anatoli Polosin sebelum Timnas Indonesia meraih medali emas SEA Games 1991. Pelatih asal Rusia itu menerapkan disiplin ketat dan juga latihan keras yang akhirnya berbuah manis berupa medali emas kedua sepanjang partisipasi Timnas Indonesia di SEA Games.
Dari kaca mata Banur, disiplin yang diterapkan Polosin dan Shin Tae Yong yang nyaris sama. Sedikit perbedaannya karena Polosin kerap menerapkan sanksi buat pemain yang dianggap tidak disiplin.
“Karena manajer Timnas Indonesia waktu itu IGK Manila, ada tentara yang jaga kami. Jadi kami terbantu, dibangunkan tidur sama mereka. Sebagai pemain kalau latihan fisik berat ya tidak boleh menyerah.
Kalau tidak tahan mental ya keluar. Saking beratnya latihan waktu itu, ada beberapa teman yang mengundurkan diri [dari TC Timnas Indonesia], termasuk Fakhri Husaini karena saking kerasnya latihan dan harus disiplin,” kata Banur.
“Di Rusia itu Polosin terbiasa menerapkan disiplin dalam bermasyarakat dan kehidupan bernegara. Jadi buat mereka disiplin itu juga sebuah budaya. Apalagi ini menyangkut timnas. Kalau hal kecil saja tidak disiplin, bagaimana nanti di lapangan saat pertandingan,” ia menuturkan.
Sementara itu, Ricky Yakobi mengaku agak aneh dengan pencoretan dua pemain karena dianggap indisipliner setelah telat mengikuti sesi latihan. Ia justru mempertanyakan peran rekan satu tim dan staf kepelatihan yang tidak membantu membangunkan rekannya yang telat bangun.
“Bisa saja keterlambatan bangun itu karena faktor kelelahan. Setiap pemain kondisi fisiknya kan beda-beda setelah menjalani latihan keras. Yang saya tahu, kan mereka di tempatkan di satu lokasi yang sama.
Mestinya pemain sadar ketika ada pemain lain yang belum hadir,” tutur pria yang juga legenda Timnas Indonesia ini.
“Biasanya dan baiknya mereka saling mengingatkan satu sama lain dalam segala hal. Bagaimana caranya supaya hal-hal yang seperti itu tidak terjadi,” ia menambahkan.
Kendati demikian, Ricky mengatakan pemain harus bisa menerima risiko jika tidak bisa mematuhi aturan yang diterapkan pelatih. Sebab, pemain yang sudah masuk TC punya target dan tujuan untuk mencapai prestasi yang diharapkan.
“Dua pemain ketiduran lalu dicoret buat saya aneh. Harusnya itu tidak terjadi. Apa salahnya mereka yang kamarnya bersebelahan, kamar temannya diketok, dibangunkan.
Kalau pemain tidak bagus dari latihan fisik, tidak mencapai target yang diharapkan kan hasilnya nyata. Kalau keterlambatan karena ketiduran aneh buat saya,” ujarnya.
Ricky juga menceritakan bagaimana masa-masa berat yang dijalaninya ketika masuk TC SEA Games 1991 bersama Polosin. Buat Ricky hal itu jadi pengalaman terberat dan paling berkesan meskipun ia mundur dari tim hanya dua minggu sebelum SEA Games 1991 dimulai.
Ricky menjelaskan bahwa keputusan mundurnya waktu itu bukan karena tidak sanggup menjalani latihan berat bersama Polosin. Tapi ada hal lain di luar sepak bola yang membuatnya memutuskan hal itu.
“Polosin dan Shin Tae Yong sama, mengutamakan disiplin dan daya tahan fisik pemain. Masing-masing pelatih punya selera. Disiplin itu modal awal, jadi itu harus. Shin Tae Yong sepertinya tidak melihat pemain dari bagus atau tidaknya, tapi kalau pemain itu tidak disiplin bisa saja dicoret. Kualitas pemain itu pendukung,” terang Ricky (sumbercnnjakarta)