Oleh : Chazali H. Situmorang , Pemerhati Kebijakan Publik, Dosen AP FISIP UNAS
SYAKHRUDDIN.COM,CIBUBUR – Menteri Kesehatan yang baru diangkat Presiden Joko Widodo, adalah dokter militer, Kepala RSPAD dengan pangkat Mayor Jenderal TNI AD, , nama lengkap Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) , dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI Purnawirawan. Pangkat sang Menteri dinaikkan satu tingkat, saat menjadi Menteri, oleh Presiden, karena lembaga RSPAD sudah dinaikkan stastusnya yang menjadi Kepala RSPAD berbintang tiga. . Dalam catatan saya, baru kali ini, seorang Menkes dari dokter Militer mendapatkan bintang tiga saat dilantik sebagai menteri.
Usia relatif masih muda 55 tahun, jika tetap berkarier di militer, masih ada masa dinas 3 tahun lagi. Tidak heran jika sejak diangkat sebagai menteri, ada keinginan yang menggebu-gebu mengejar target indikator kesehatan yang belum tercapai. Soal defisit BPJS Kesehatan menjadi isu pertama yang ingin diselesaikannya. Sampai-sampai ingin mengorbankan gajinya untuk membayar iuran.
Mendadak datang ke kantor BPJS Kesehatan, dan berbicara di lingkungan petinggi Manajemen BPJS Kesehatan untuk mendengarkan langsung masalah defisit. Memerintahkan BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar. “Kalau uangnya terbatas, pengeluarannya ya harus terbatas. Kalau tidak ya sampai ke ujung dunia, ilmu ekonominya pasti defisit. Karena itu saya menghimbau semua bekerjalah berdasarkan kriteria yang benar,” kata Menteri Terawan,
Dr. Terawan, mengangkat persoalan pelayanan persalinan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, ratio klaim operasi Caesar sampai 45%. Padahal, kata Terawan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) porsinya hanya sekitar 20 persen. Tetapi tidak jelas, apakah dr.Terawan telah menduga tingginya kasus Caesar tersebut yang ditanggung BPJS Kesehatan sudah masuk kategori moral hazard atau bahkan fraud.
Terawan ingin BPJS Kesehatan benar-benar selektif memberi pelayanan termasuk keputusan operasi caesar. Sebab, lanjut Terawan, sesuai Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan hanya untuk layanan dasar.
“Kalau terjadi yang berlebihan tindakannya ya bangkrut. Padahal undang-undangnya seperti yang tadi saya bilang layanan kesehatan dasar,” kata Terawan.
Bunyi UU SJSN (Nomor 40 tahun 2004), Pasal 19 ayat (2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agara peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Apakah yang dimaksudkan “layanan kesehatan dasar” yang diutarakan Menkes, sama dengan maksud memenuhi “kebutuhan dasar kesehatan”, menarik untuk didiskusikan pada tulisan berikutnya.
Paling mutakhir gebrakan Menkes dr.Terawan adalah mengancam menarik wewenang izin edar obat dari BPOM, kembali ke Kemenkes, dengan alasan selama ini BPOM lelet alias lambat dalam proses menerbitkan izin obat sehingga obat menjadi mahal.
Berikut ini alasan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto berencana melakukan pengalihan izin edar obat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kepada Kementerian Kesehatan karena sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
“Izin edar itu UU-nya bunyinya yang punya izin edar itu memang Kementerian Kesehatan,” ujar Terawan di kantornya, Jakarta, Jumat malam, 29 November 2019.
Ia menuturkan BPOM mengurusi izin edar obat karena mendapat delegasi dari Kementerian Kesehatan yang didasari oleh Peraturan Menteri Kesehatan. “Setelah didelegasikan ya kalau delegasinya saya perbaiki untuk tidak saya berikan kan tidak apa-apa, tetap sesuai UU,” tutur Terawan. Ia mengatakan kebijakan itu sudah langsung berlaku. “Kan tinggal koordinasi kalau delegasi.”
Terawan sebelumnya memastikan bakal memangkas proses izin edar obat termasuk obat tradisional menjadi lebih cepat. Tujuannya, agar harga obat yang beredar di pasaran bisa turun.
Pemangkasan prosedur dilakukan dengan cara mengambil alih proses izin edar obat yang semula di bawah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menjadi ditangani Kementerian Kesehatan. Hal ini disampaikan Terawan dalam acara pertemuan dengan industri farmasi dan alat kesehatan di Kantor Kementerian Kesehatan Jakarta, Senin, 25 November 2019.
Terkait hal ini, Terawan menyatakan dia telah bertemu dengan Kepala BPOM Keduanya telah sepakat untuk mengembalikan proses perizinan obat berada di Kementerian Kesehatan.
Posisi kelembagaan : Badan POM (BPOM), itu lahir asal muasalnya dari rahimnya Kementerian Kesehatan. Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-Undang Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri No. 39521/ Kab/199 tanggal 11 Juni 1963).
Dengan demikian pada waktu itu ada dua instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat Urusan Farmasi yang semula Inspektorat Farmasi pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi.
Sejak itu, di Kemenkes ada satu unit eselon I, yaitu Direktorat Jenderal Farmasi. Semua apoteker berkumpul di Ditjen Farmasi, memikirkan persoalan-persoalan terkait kefarmasian.
Pada periode Orde Baru, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga pada tahun 1975, institusi pengawasan farmasi dikembangkan dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan pembangunan pada masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggungjawab kepada Departemen Kesehatan namun sekarang setelah terjadinya perubahan maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bertanggungjawab kepada Presiden.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian Berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami perubahan melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003.
BPOM berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Adapun tugas BPOM adalah menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat dan Makanan terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud, adalah di sektor kesehatan dan sektor lain yang lingkupnya tersebut diatas.
Dari uraian diatas, jelas keberadaan BPOM adalah utamanya meringankan tugas Kementerian Kesehatan, mengingat luasnya scope tugas sektor kesehatan. Sehingga soal pengawasan obat dan makanan ditangani suatu badan khusus yang diberi wewenang khusus dan langsung dibawah kendali Presiden melalui Menteri Kesehatan.
Termasuk mendelegasikan registrasi obat, lihat Pasal 2 ayat (2) dan (3), yaitu :Izin Edar diberikan oleh Menteri; Menteri melimpahkan pemberian Izin Edar kepada Kepala Badan ( Permenkes Nomor: 1010/MENKES/PER/XI/2008, Tentang Registrasi Obat).
Dengan peraturan perundang-undangan yang ada, Menteri Kesehatan dapat mencabut kembali Permenkes yang telah diterbitkannya. Tetapi tentu tidak sembarangan. Tidak untuk kepentingan sesaat. Sama halnya Presiden ingin mengganti Menterinya, tentu merupakan hak prerogratif. Tetapi juga tidak bisa sembarangan. Harus ada landasan objektif dan juga tidak terlepas subjektifitas. Supaya tidak mempengaruhi iklim stabilitas penyelenggaraan negara.
Dasar alas penarikan kembali pelimpahan Izin Registrasi : Kita mencermati, ada dua alasan utama penarikan kembali pelimpahan Izin Edar (Registraasi) adalah : pertama; proses keluarnya Izin Edar lambat, bisa sampai bertahun-tahun; dan kedua; kelambatan tersebut menyebabkan harga obat menjadi mahal.
Alasan sering terlambatnya Izin Edar obat dimaksud, apakah sudah didasarkan data yang akurat. Apakah sudah dilakukan evaluasi proses izin dimaksud. Dimana kendalanya. Apakah bersifat teknis administratif, atau teknis substansif obat itu sendiri, atau brokrasi yang lelet.
Jika sudah diketahui dimana simpul persoalannya, tentu intervensinya berdasarkan sasaran di simpul persoalan. Jika persoalan administrasi yang berbelit-belit sederhanakan SOP nya; jika persoalan substansi / aspek klinis obat buat tenggang waktu penyelesaian yang ketat dan pantau ketat Critical Succes Factors nya, dan jika terkait birokrasi yang lelet, diberikan peringatan sampai langkah pemberhentian sesuai aturan yang berlaku.
Jadi ada kepastian. Vendor perusahaan farmasi juga tidak ragu untuk investasi, karena ada kepastian limit waktu dan memperhitungkan estimasi biaya, untuk mendapatkan harga yang sesuai dengan hitungan keekonomian.
Jika sudah diketemukan simpul penghambat, dan Kepala BPOM tidak dapat menyelesaikan sesuai dengan SOP dan batas waktu yasng disepakati, Kepala Badan POM yang diganti, cari mereka yang profesional, apoteker yang sudah punya jam terbang tinggi, berintegritas, dan komitmen yang tinggi terhadap tugas. Saya yakin di jajaran BPOM cukup banyak tersedia figur-figur dengan standar dimaksud.
Tidak ada jaminan, jika pelimpahan tugas ditarik, dan proses Izin Edar ditugaskan pada Direktorat jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat kesehatan Kemenkes, proses Izin Edar lebih lancar. Kalaupun lancar karena dibawah tekanan, dapat mengabaikan kehati-hatian, dan berlangsungnya proses tanpa SOP yang akurat.
Disamping itu tugas-tugas Ditjen Yanfar dan Alkes, sudah sangat banyak dan juga terkesan overload. Misalnya soal penyusunan Fornas untuk kebutuhan obat , alkes, dan bahan medis pakai lainnya, masih menimbulkan persoalan yang menyulitkan persediaan obat fornas di faskes.
Ada daftar Fornas yang keluar masuk, sehingga Apotik yang menyediakan obat JKN, menjadi kebingungan. Obat sudah dikeluarkan, ditagih ke BPJS Kesehatan, ternyata sudah dikeluarkan dari Fornas, dan tidak dapat di klaim karena berlaku mundur. Teman-teman sejawat Apoteker pengelola apotek banyak mengeluhkan hal tersebut pada saya.
Demikian juga soal harga obat mahal dikaitkan dengan Izin Edar, apakah sudah ada dilakukan evaluasi dengan GP Farmasi. Benarkah obat yang beredar di Indonesia mahal?. Industri dan distributor farmasi saat ini menjual obat dengan harga murah dengan ikut e-procurement LKPP, yang mengedepankan harga obat yang paling murah, baik obat generik, generik berlogo, dan obat paten. Sudah harga obatnya murah, pembayaran oleh faskes juga tersendat-sendat 3 s/d 6 bulan. Jika industri farmasi kelas teri sudah tidak mampu berproduksi. Akibatnya industri-industri besar yang masih bertahan. Apakah ini sehat?
Di apotik, untuk obat-obat katastropik, khususnya generik sangatlah murah. Contoh obat cholesterol: simvastatin 10 mg, Rp. 7.000/strip, yang 20 mg, Rp. 14.000/strip. Obat hipertensi: amlodipine 5 mg, Rp. 3.500/strip, dan yang 10 mg, Rp. 6.500/strip. Obat untuk Diabet: metformin 500 mg, Rp. 2.500/strip, yang 850 mg, Rp. 5,000/strip. Tentu harga ini sedikit bervariasi antar apotik, tergantung berapa margin yang diambil.
Bandingkan dengan ongkos parkir mobil di Jakarta, sekarang sudah antara Rp. 5.000 s/d Rp. 10.000.- atau harga sebungkus rokok Rp. 25.000/bungkus yang dihisap untuk satu hari saja.
Pak Menkes bersabarlah : Jika Menkes dr.Terawan memulai pekerjaannya yang berat ini, dengan kesabaran, Allah SWT, menjanjikan dr. Terawan akan menjadi pemenangnya. Banyak dalil yang menguatkannya.
Saya kutip beberapa ayat Al-Qur”an janji Allah SWT, untuk orang yang sabar. Dan ingat Allah SWT, tidak akan pernah ingkar atas janjiNya.
1. “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu…”(Qs. Ali Imran: 200).
2. “Sungguh, akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(Qs. Al-Baqarah: 155).
3. “…Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”(Qs. Az-Zumar: 10).
4. “Tetapi, orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya, (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”(Qs. Asy-Syuura: 43).
5. “…Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar.”(Qs. Al-Baqarah: 153).
Dengan keyakinan tersebut, dan juga soal kesabaran ini diajarkan dalam agama-agama lain, diharapkan berbagai kebijakan kebijakan yang akan diambil, apalagi berakibat/berimplikasi luas terhadap pembangunan kesehatan rakyat Indonesia perlu dilandasi dengan pertimbangan yang dalam, kaji negatif dan positif listnya, dengan landasan kesabaran dalam hati, dan jiwa yang tenang, dan akan berujung ketegasan dan kepastian kebijakan.
BPOM itu merupakan bagian dari batang tubuh Sektor Kesehatan, dengan kapal induknya Kementerian Kesehatan yang Kapten kapalnya seorang Jenderal yang sudah malang melintang dalam dunia kesehatan militer. Sekarang sebagai Menkes bertanggungjawab membangun kesehatan masyarakat sipil dan militer.
Jika Menkes merasakan bahwa BPOM ada sedikit “kenakalan” tidak ingin dikoordinasikan oleh Kemenkes, tidak patuh pada kebijakan Presiden melalui Menteri Kesehatan, tidaklah sulit Menkes menyelesaikan. Lakukan tahapan-tahapan kebijakan terhadap birokrasinya dengan sabar dan akhirnya putuskan. Bukan dengan mempreteli BPOM sehingga akhirnya menjadi “barang rongsokan”.
Cibubur, 8 Desember 2019