“Ada berapa pohon yang dimiliki sekolah ini?”
Begitu saya melontarkan pertanyaan kepada seratusan pelajar saat saya dipercaya mengisi materi tentang jurnalistik di salah satu sekolah kejuruan favorit di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel.
Pertanyaan sederhana itu dijawab dengan senyum oleh para pelajar, sementara sebagian guru ada yang tertawa.
Saya sarankan kepada mereka untuk mencari informasi itu di Mbah Google. Siapa tahu ada informasi yang akurat terkait berapa jumlah pohon yang ditanam di sekolah tersebut.
Namun, mimik wajah mereka menunjukkan pesimisme. Mereka tidak yakin Mbah Google tahu jawaban dari pertanyaan itu.
“Lho, katanya Mbah Google itu serba tahu? Coba di-search,” saya mengejar. Tapi, mereka bergeming.
Gesture tubuh dan mimik wajah mereka tak berubah: tetap pesimistis.
Saya tahu kalau Mbah Google tidak tahu. Mbah Google bukanlah si segala tahu. Ia hanya dianggap mengetahui banyak hal oleh sebagian orang yang juga tidak tahu.
Nah, mbulet alias tapuntal, kan? Iya, jawaban dari pertanyaan sederhana itu memang tak pernah ada di mesin pencari jika tidak ada orang yang mencatatnya.
Kenapa tidak ada yang mencatat berapa jumlah pohon yang ada di sekolah itu, lalu kemudian menulis jenis-jenis pohon yang ditanam, juga kapan pohon itu ditanam?
Lalu, siapa yang menanam? Apakah pohon itu ditanam oleh Pak Kepala Sekolah, pelajar, guru, atau ia tumbuh dengan sendirinya? Kemudian, bagaimana kondisi lingkungan sekolah setelah pohon itu tumbuh besar?
Ada banyak hal di sekitar kita yang tidak tercatat, bahkan tidak pernah diupayakan untuk dicatat dan didokumentasikan. Bahkan, hal-hal penting seperti objek wisata daerah sampai budaya masyarakat pun tak banyak orang yang mau mencatatnya.
Kalau pun ada, masih jauh dari kata informatif. Data atau informasi yang biasa ditemui di mesin pencari hanya berupa berita-berita seremonial; pejabat anu berkunjung ke anu atau dinas anu menggelar anu. Kalau pun ada tulisan tentang objek wisata atau budaya, biasanya ditulis ala kadarnya.
Anda bisa bayangkan, artikel yang mengulas tentang Iwak Karing Masak Asam yang menurut saya makanan paling enak di dunia saja masih sangat minim.
Tradisi menulis memang masih jauh dari kebudayaan masyarakat kita. Padahal, menulis adalah tradisi ulama-ulama zaman dahulu.
Lihatlah bagaimana Muhammad bin Idris yang membalas surat dari Abdurrahman Al Mahdi, Gubernur Asia Tengah yang dalam suratnya ingin belajar dan tahu lebih dalam tentang Islam.
Kemudian, Muhammad bin Idris membalas surat tersebut dengan surat balasan yang tebalnya 300 halaman.
Dari sanalah surat balasan itu dikenal dengan judul Ar Risalah, karya Muhammad bin Idris yang kemudian dikenal dengan nama Imam Syafi’i.
Jadi, jangan bermimpi daerah kita akan dikenal secara nasional, bahkan internasional jika menulis tidak dijadikan sebagai budaya seperti saat agama Islam mencapai masa keemasannya.
Menulislah. Catatlah apa saja yang ada di sekitar kita, baik mencatat peristiwa, kebudayaan, atau pemikiran. Idealnya begitu.
Namun, siapa yang bisa memberikan kesadaran kepada setiap orang bahwa menulis itu penting?
Siapa yang bisa memaksa mereka? Tak ada. Kita juga tak boleh memaksa siapapun. Bukankah untuk urusan agama saja tak boleh ada paksaan? Apalagi hanya sekadar menulis.
Para guru pun tak boleh dipaksa untuk menulis, kecuali untuk keperluan sertifikasi. Para penyair cukup onani dengan diksi dan metafor yang hanya bisa dipahami oleh mereka sendiri.
Pun begitu dengan para wartawan. Menulislah, kalau ada duitnya saja (Di kutip dari halaman Kompasiana)