Jambore Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang digagas Kemsos dan Pemda Minahasa dan Tondano tgl 23 sd 27 Oktober 2017 diikuti 1.600 peserta Tagana utusan 34 provinsi se-Indonesia telah berakhir.
Penulis yang ikut serta dalam kegiatan tersebut memberikan catatan kecil sekitar pelaksanaan Jambore.
Bagi pemerintah daerah yang mendapat kepercayaan sebagai penyelenggara, maka ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Yaitu MCK dan aliran listrik, kedua komponen ini menjadi kebutuhan utama dalam setiap even yang berskala nasional.
Seperti yang terjadi di Stadion Maesa Tondano, untuk kegiatan MCK dengan kapasitas 340 orang, hanya tersedia 40 MCK dan kadang air dropan dari Damkar Tondano tdk lancar.
Khusus untuk diluar stadion yang dihuni oleh para pendukung dan penggembira hanya tersedia empat MCK, air yg didatangkan oleh pemadam kebakaran (Damkar), belum mampu mengatasi kebutuhan akan air untuk mandi cuci kasus.
Demikian halnya terhadap air limbah yang salurannya buntu, membuat kondisi di sekitar MCK menjadi kurang nyaman dan hal ini tentu butuh perhatian dari panitia lokal.
Kebutuhan listrik di tenda-tenda penggembira sama sekali tidak ada, genset yang disiapkan dari BNPB/BPBD hanya mampu berfungsi semalam, dua malam berikutnya hanya jadi pajangan di lapangan.
Konon kabarnya, solarnya habis dan operatornya tidak menjaga perangkat, sementara para panitia lokal tidak ada yg mampu mengoperasikannya.
Demikian halnya di lapangan Sam Ratulangi pada acara puncak dan penutupan Jambore.
Panitia lokal tak mampu mengantisipasi lampu penerangan di lapangan.
Akibatnya empat jenis tari yang diperagakan rekan-rekan Tagana se- Indonesia berlangsung dalam suasana yang gelap dan hanya mendapatkan penerangan melalui senter dan camera HP.
Bagaimana dengan layanan dapur umum lapangan (dumlap) ??? bagi peserta penggembira, ini yang kurang diantisipasi panitia lokal, sehingga sebahagian anggota harus merogoh kantong sendiri.
untuk dapat menikmati layanan melalui kios dan pedagang makanan yang banyak bertebaran di sekitar Stadion Maesa Tondano.
Kesemua kondisi diatas menjadi catatan kecil dari sebuah kegiatan dan menjadi perhatian bagi penyelenggara even Jambore berikutnya.
Hal yang menjadi keunggulan di Tondano adalah pelaksanaan pengabdian masyarakat, seperti pembagian kaca mata baca bagi Lansia, penyaluran kaki palsu bagi yang membutuhkan, serta dapur air dari Tagana Rajawali serta pengobatan dan pemeriksaan kesehatan bagi semua peserta.
Selain itu, pelaksanaan malam santiaji dan penyerahan cindera mata bagi semua peserta dari Pemkab Minahasa menjadi salah satu wujud terima kasih atas kunjungan ke Kota Tondano, negeri nyiur melambai menuju Sulut hebat.
Dalam setiap even kegiatan, baik skala provinsi maupun naaional, selalu saja ada yang plus dan ada yang minus.
Catatan ringan penulis diharapkan menjadi perhatian dan bekal pengalaman untuk penyelenggaraan Jambore mendatang.
Sampai jumpa pada Jambore Tagana di masa mendatang dan tetap semangat pagi (syakhruddin)