SYAKHRUDDIN.COM – Budaya mudik bagi bangsa Indonesia bagaikan “sayur tanpa garam”. Seorang perantau atau sanak family yang tinggal di kota.
Suatu ketika akan rindu pulang ke kampong halaman, tempat dimana dahulu dilahirkan sebagaimana bait lagu “ Indonesia tanah air betA, pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puji bangsa,”
Mudik adalah kegiatan perantau/ pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Kata mudik berasal dari sandi kata bahasa Jawa Ngoko yaitu mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran.
Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik muncul pada beberapa negara berkembang dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia dan Bangladesh.
Adalah Linda Lestari (nama samaran) anak semata wayang, yang sekolah di Bandung, menjelang lebaran juga kembali kampUng di Pangandaran.
Padahal hitungan jarak sesungguhnya tidaklah terlalu jauh, akan tetapi sebahagian besar sahabatnya di kampus juga melakukan kegiatan yang sama.
Khususnya di penghujung Ramadan terdapat libur panjang, sehingga perlu melakukan aktifitas kangen-kangenan dengan sanak family di kampung halaman.
Dari mana kata “mudik” bermula. Bagaimana asal-usulnya? Sesekali, menarik juga memahami sebuah kata yang akhirnya menjadi budaya di negeri ini.
Boleh jadi, satu-satunya tradisi unik yang dilakukan hampir seluruh orang dalam satu negara, sekaligus sebagai fenomena mengagumkan di mata dunia.
Dalam pergaulan masyarakat Betawi terdapat kata “mudik” yang berlawanan dengan kata “milir”. Bila mudik berarti pulang, maka milir berarti pergi.
Kata “milir” merupakan turunan dari “belilir” yang berarti: pergi ke Utara. Dulu, tempat usaha banyak berada di wilayah Utara – lihat sejarah Batavia dan Sunda Kelapa. Karena itulah kata “mudik” bermakna: Selatan.
Sehubungan dengan kata ini, pendapat lain mengungkapkan bahwa kaum urban di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari luar Jawa mencari nafkah ke tempat ini.
Menetap dan pulang kembali ke kampungnya saat hari raya Idul Fitri tiba. Karena itulah, kata “mudik” dalam istilah Betawi juga mengartikan “menuju udik” (pulang kampung).
Di zaman purba Indonesia ada upacara setiap tahun yang bermakna manunggal dengan nenek moyang sebuah komunitas. Sisa-sisa upacara demikian masih lestari dalam bentuk bersih desa, ngalaksa, seren taun, ngarot dan banyak lagi.
Dalam upacara-upacara semacam itu dilakukan penyatuan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam sebagai makrokosmos dan arwah nenek moyang berupa mitos-mitos sebagai metakosmos.
Rangkaian upacaranya mulai dari mandi bersama (bersih badan), pantang dan puasa, ziarah kubur, seni pertunjukan yang mementaskan kisah mitologi nenek moyang pendiri wilayah, dan akhirnya makan bersama atau kenduri. Tempatnya bisa di tanah lapang, di balai desa, di leuwi, di mata air, di kuburan desa.
Pemerintah republik Indonesia bahkan jauh hari sudah mempersiapkan sarana transfortasi baik darat, udara maupun laut. Pemandangan pulang kampung atau mudik menjadi fenomena menarik setiap kali pelaksanaan lebaran.
Penjualan tiket melalui online sudah berlangsung dua bulan sebelum pelaksanaan Hari “H” pihak media sampai membentuk tim berjuluk “Mudik Lebaran Tahun 2014” semua hiruk pikuk kegiatan pulang kampung menjadi sesuatu peristiwa yang selalu dinantikan, menghebohkan sekaligus menguras tenaga dan isi dompet.
Kegiatan mudik tahun ini, sekaligus menandai terpilihnya Bapak Joko Widodo dan Yusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019.
Bapak JK juga akan mudik ke Makassar dan melanjutkan kegiatan Umrah di Tanah Suci hingga pada suatu ketika kita semua akan mudik (pulang kampung) di keharibaan Ilahi Rabbi, Salamaki.