Yang dikejar tiada dapat yang ditinggal berceceran, barangkali ini ungkapan yang layak bagi Khalijah, Deportan Malaysia yang tiba di Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan.
Senin 30 Juli 2012 dengan KM. Lambelu Pukul 15.00 Wita. Kapal Pelni KM. Lambelu yang membawanya dari Jakarta ke Makassar merapat di Dermaga Pelabuhan Soekarno Hatta Pukul 12.00 Wita bersama deportan lainnya.
Masing-masing Sumiati (Janda), Rahim dan Sukri yang beralamat di Desa Kalosi Kecamatan Kalembang Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Kisah sedih Khalijah berawal saat suaminya Arifin, buruh bangunan ditangkap Polisi Diraja Malaysia, karena insiden perkelahian sesama buruh disana, kini isterinya yang telantar di Makassar tak tahu lagi di penjara mana suaminya di tahan.
Sementara lima orang anaknya yang butuh beaya dan kasih sayang tak memiliki lagi beaya hidup termasuk sanak famili. Untuk sementara.
Khalijah merasa tertolong karena sudah ada di tempat penampungan sementara Dinas Sosial Prov. Sulsel di Jalan A.P.Pettarani No. 59 Makassar, tapi bagaimana kelanjutannya, inilah yang menjadi kerisauan baginya bersama anak-anaknya.
Khalijah bersama lima orang anaknya kebingungan, entah dimana keluarga suaminya di Makassar, yang dia kenal hanyalah jalan Gangga, itupun mengaku di Bulukumba.
Intinya dia telah kehilangan segalanya, karena sejak kecil dibawa merantau oleh orang tuanya Daeng Jarre Bin Daeng Beta ke Negeri Jiran Malaysia.
Disana dibesarkan hingga mendapatkan suami bernama Arifin yang kini dalam tahanan polisi karena disinyalir tidak memiliki dokumen resmi untuk tinggal.
Dalam penuturannya, Khalijah mengaku masih memiliki kerabat di Makassar namanya Daeng Bau, suami Daeng Bau bernama Daeng Ngila.
Saat ditanya dimana bertempat tinggal, Khalijah kebingungan, baginya yang masih ingat adalah ada jalan yang mengarah ke kuburan, ini yang membuat kami kehilangan dan sulit mendapatkan alamat pasti keluarganya.
Maka solusi sementara ditempatkan di penampungan sambil menelusuri alamat kerabat atau family yang dimaksud Khalijah.
Salah seorang putri tertuanya bernama Jumarni yang akrab di panggil ANI kelas IV Sekolah Dasar menuturkan kepada Penulis, Ia menyaksikan dengan kasat mata bagaimana ayahnya Arifin di tangkap Polisi Malaysia di depan rumahnya di Sungai Asap Serawak.
Saat itu Polisi menggelandang suami Khadijah bersama salah seorang temannya yang se profesi sebagai buruh bangunan. Jumarni alias Ani memprotes penangkapan itu.
Sambil menangis dia berkata, tangkap saja kami semua supaya bisa ikut bapak, namun petugas tetap menggelandang Arifin bersama temannya dalam keadaan di borgol menuju ke Bintulu.
Selang beberapa waktu lamanya Khalijah menelusi keberadaan suami di Bintulu, namun yang didapatkan informasi kalau suaminya sudah dipindah ke tempat tahanan di Miri.
Pupus sudah harapan Khalijah untuk bertemu suami hingga petugas melakukan deportasi ke Indonesia melalui Tanjung Pinang, selama 35 hari di lokasi penampungan di Tanjung Pinang lalu dirujuk Panti Sosial di Bambu Apus Jakarta.
Didampingi petugas sosial dari Dinas Sosial di Pangkal Pinang. Konon penangkapan Arifin karena insiden perkelahian sesama buruh serta tidak memiliki dokumen resmi untuk bertempat tinggal dan bekerja di luar negeri, keterbatasan pengetahuan dan kemiskinanlah yang membuatnya mengadu nasib di negeri rantau.
Lima orang anaknya yang masih kecil, masing-masing Jumarni (Ani), Salman, Putri, Iwan dan Adi (bayi umur satu bulan) di usir dari Sungai Asap Serawak, kemudian diangkut mobil menuju Tanjung Pinang.
Dari Tanjung Pinang di angkut ke Bambu Apus, salah satu pusat penampungan orang telantar di Jakarta milik Kementerian Sosial.
Dari sanalah kemudian di bawa ke Makassar bersama rombongan lainnya, termasuk Sumiati yang berasal dari Pinrang.