SYAKHRUDDIN.COM – Ada tiga ekor tekukur yang ada dalam sangkar di halaman depan rumah dekat taman air mancur, salah seekor diantaranya sedang mengeram dan dua lainnya sedang membersihkan buluhnya.
Kutatap tekukur yang berwarna kecoklatan dan mencoba memberikan penafsiran akan nasib burung yang ada dalam sangkar. Bagi tekukur yang sedang mengeram tentunya sedang menjalankan tanggungjawab untuk melahirkan generasi mendatang.
Akan tetapi dua ekor yang lainnya hanya makan dan membersihkan bulu, sesekali mengeluarkan suara yang merdu dan mengingatkanku untuk waktu sholat.
Kupandangi burung yang malang itu, nasibnya memang berada dalam sangkar yang cantik akan tetapi jiwanya terpenjara, andai saja dia berada di alam bebas maka sayapnya akan selalu mengepak, menembus angkasa raya dan memadu kasihnya dengan sesama tekukur di alam bebas.
Tekukur itu terus saja membersihkan sayapnya, duduk termangu dan mengenang akan ketepenjaraannya, kondisi semacam ini tentu akan dialami oleh MIRANDA GULTOM yang surat penahanannya sudah ditanda tangani beberapa waktu lalu.
Miranda akan mengalami kondisi yang sama dengan Tekukur, berada di balik ruang ber AC, fasilitas yang tersedia sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia, namun jiwanya tersiksa.
Sulit tidur dan tentu akan mengalami shock mental yang dapat membuatnya jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit hingga akhirnya jeratan hukum berakhir di ujung negosiasi.
Tapi bagaimana dengan Tekukur, sang burung yang malang ini akan tetap berada dalam sangkar hingga suatu ketika pemiliknya melepas dengan sukarela, atau karena alasan lain sehingga dia mampu menikmati alam kebebasan.
Dalam proses penantian yang tak berujung ini, Sang Tekukur tentunya selalu berharap agar kelak sang pemilik dapat melepasnya ke alam bebas, sebagaimana penantian seseorang di ujung pulau di sana.
Selalu mengharap dengan doa-doanya agar sang Arjuna dagang dan menemui serta melepas kerinduan yang tak tertahankan.
Akh …. sang Tekukur, kini dirimu terpenjara dalam kandang yang cantik namun harapanmu tetap ada dan pasti, sebagaimana pastinya matahari di pagi hari, burung itu terus menatapku di saat sedang asyik menulis di dekatnya.
Ia telah memberiku aspirasi untuk menulis, mencatatkan setiap kedipannya dan bulunya yang bersih menunjukkan sebuah kepasrahan akan nasib yang dialaminya.
Kepasrahan inilah yang telah meluluhlantakkan perasaan dan terus mengelora untuk melepaskan, namun sayang karena di rumah ini masih banyak yang merasa pemiliknya sekalipun diriku sebagai pengendali.
Namun masih ada yang merasa lebih berkuasa, akhirnya tulisan ini harus terhenti karena suara adzan dari Masjid Al-Albar Gunung Sari Makassar, selamat membaca….!!!