Hari demi hari berlalu dalam hening,
Di sudut rumah tua, senyum itu masih tersimpan,
Mata yang dulu menatap nyala api bencana,
Kini menatap cucu kecil yang tertawa riang.
Dulu, di usia tiga puluh hingga lima puluh,
Langkahmu ringan menembus genangan banjir,
Suaramu lantang di tengah reruntuhan,
Peluhmu menjadi saksi cinta pada kemanusiaan.
Kini waktu berputar tanpa permisi,
Rambut memutih, lutut tak lagi sekuat dulu,
Namun semangat itu
Masih menyala, meski redup di balik senja.
Generasi muda kini mengisi barisan,
Dengan jaket biru dan tekad membara,
Mereka belajar dari kisahmu,
Dari luka dan tawa di setiap tenda darurat.
Wahai Perintis Tagana,
Engkau telah menanam, kami kini menyiram,
Tongkat estafet itu telah tiba di tangan kami—
Namun jejakmu takkan hilang dari jalan ini.
Istirahatlah dalam kebijaksanaan,
Nikmatilah sore bersama anak dan cucu,
Biarlah dunia bencana kini kami tanggung,
Sebab engkau telah menuntun kami menuju pengabdian sejati.
Dimanakah Sang Perintis Kini?
Ia selalu ada
Dalam setiap doa penyintas,
Dalam setiap seragam Tagana yang berkibar di tengah duka.
Makassar, 22 Oktober 2025
Sang Perintis di Kota Daeng
by.syakhruddin tagana
