SYAKHRUDDIN.COM, JAKARTA – Indonesia mendorong agar negosiasi mengenai kode tata perilaku (code of conduct) di Laut Cina Selatan, yang sempat terhenti akibat adanya pandemi virus corona, dapat dilanjutkan kembali.
Voice of America dalam siaran persnya menyebutkan, pertemuan informal para menteri luar negeri ASEAN Ministerial Meeting (AMM) secara virtual, Rabu (24/6), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan dalam isu Laut Cina Selatan terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, mengenai rivalitas antara berbagai kekuatan di Laut Cina Selatan. Retno mengatakan penting bagi ASEAN untuk terus mengirim pesan kepada semua pihak agar berkontribusi bagi stabilitas dan perdamaian di Laut Cina Selatan. Ditekannya bahwa yang harus diutamakan adalah kolaborasi dan kerjasama, bukan rivalitas.
Dalam pertemuan Informal ASEAN Ministerial Meeting (AMM) itu, Retno juga berbicara mengenai klaim di antara negara-negara pengklaim. Menlu Retno menekankan bahwa Indonesia bukan negara pengklaim.
“Dalam hal ini tentunya negosiasi di antara negara claimers menjadi kunci. Selain itu, Indonesia juga mendorong agar negosiasi CoC (Court of Conduct) yang terhenti karena pandemi, juga sudah waktunya dimulai lagi. Karena kita meyakini CoC akan berkontribusi dalam penciptaan lingkungan yang kondusif di Laut Cina Selatan,” kata Retno.
Hal ketiga yang disampaikan Indonesia adalah urgensi bagi ASEAN untuk menunjukkan soliditas mengenai penghormatan prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk Hukum Laut Internasional 1982 dan mekanisme yang diatur.
Konflik di Laut Cina Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan eksploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut Cina Selatan.
Nilai komoditas perdagangan yang melewati Laut Cina Selatan setiap tahun mencapai US$ 3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut Cina Selatan.
Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan ingin mengundang kecaman internasional. Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut Cina Selatan.
Dalam Isu Laut Cina Selatan, Indonesia Netral
Pengamat Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah menilai posisi Indonesia netral dalam kasus laut Cina Selatan karena Indonesia bukan sebagai pengklaim. Hal ini kata Rezasyah membuat negara-negara yang berkonflik dengan China mendengarkan Indonesia.
Lebih jauh ia menilai ini waktu yang tepat untuk mendesak China agar mempercepat Court of Conduct untuk Laut Cina Selatan karena negara Tirai Bambu itu sedang disorot dunia akibat masalah perbatasan dengan India, persaingan dengan Amerika dan Jepang.
Rezasyah menambahkan selama ini memang persoalan Laut Cina Selatan dengan sejumlah negara ASEAN tidak kunjung selesai karena China selalu ingin berunding secara bilateral. Dalam posisi bilateral tambahnya posisi runding negara-negara ASEAN lemah.
“Tetapi kalau kita berbicara dalam suatu kolektivitas, China akan bernegosiasi dengan 650 juta warga negara ASEAN. Oleh karena itu kalau ASEAN berhimpun dalam suatu kekuatan kolektif untuk berdialog dengan China, maka posisi runding kita lebih kuat, kemudian marwah negara-negara ASEAN lebih besar di mata China karena kita solid. China selalu memecah belah ASEAN sekarang Indonesia ingin mengatakan sesama ASEAN marilah kita satu suara,” kata Rezasyah.
Isu Rakhine Juga Dibahas dalam AMM
Dalam pertemuan AMM itu, Retno juga menyampaikan tentang situasi di negara bagian Rakhine, di Myanmar. Menurutnya, rencana repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat bagi para pengungsi Rohingya sampai saat ini belum dapat dilakukan karena kondisi keamanan tidak memungkinkan dan berlangsungnya pandemi Covid-19.
Retno menegaskan repatriasi para pengungsi Rohingya ke Rakhine masih merupakan prioritas bagi pemerintah Indonesia. “Kita harus terus berusaha untuk membawa pulang mereka (para pengungsi Rohingya) kembali ke rumah mereka, yaitu ke Negara Bagian Rakhine. Oleh karena itu, upaya untuk mempersiapkan repatriasi harus terus dilakukan. Sekali lagi, dengan menghormati prinsip sukarela, aman, dan bermartabat,” ujar Retno. [sumbervoawashington)